Sabtu, 11 Februari 2012

IMPLEMENTASI HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA

HUKUM DAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA 
SERTA PENEGAKAN HUKUMNYA
Oleh : Irwan Susianto


A.    PENDAHULUAN

Lingkungan yang ada di sekitar kita adalah anugerah Allah SWT yang besar bagi umat manusia. Didalam ajaran agamapun jelas sekali Allah SWT menginginkan umat ciptaannya untuk memberdayakan dan melestarikan lingkungan dengan sebaik-baiknya. Namun, faktanya keinginan Allah SWT tersebut tidak dapat diwujudkan oleh umat manusia, diberbagai tempat sering terjadi pengrusakan dan pencemaran lingkungan termasuk di wilayah lingkungan hidup kita di Indonesia.

Indonesia dengan wilayah negara yang luas tentu memiliki masalah lingkungan yang kompleks dan perlu mendapat perhatian serius. Terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di Indonesia akan membawa dampak terhadap kehidupan rakyat Indonesia bahkan juga rakyat negara tetangga kita. Lihatlah bagaimana Malaysia dan Singapura memprotes pemerintah Indonesia atas asap kebakaran hutan Indonesia yang datang ke wilayah negara tersebut. Jikalau merusak dan mencemari lingkungan berdampak buruk bagi kegidupan umat manusia, mengapa manusia masih merusak dan mencemari lingkungan, terus apa motifnya? Hal ini bisa terjadi karena motivasi manusia merusak dan mencemari lingkungan adalah keuntungan materi. Dengan segala motivasi dan tujuan keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian dan dampaknya. Manusia telah mengeksploitasi lingkungan diluar ambang batas kewajaran yang diperkenankan.

Sampai saat ini sudah banyak kasus pencemaran/pengrusakan lingkungan yang telah dibawa ke dalam proses peradilan, diantaranya pencemaran Teluk Buyat, Lumpur Lapindo di Sidoarjo dan kasus illegal logging yang melibatkan Adelin Lis (Direktur Keuangan PT KNDi) di Sumut. Namun sayangnya, penegakan hukum atas kasus-kasus tersebut belum membuahkan hasil optimal, tidak memberikan pembelajaran dan menghasilkan efek jera yang bisa diharapkan untuk dilakukannya pemulihan dan menghentikan pengrusakan/pencemaran agar tidak terulang lagi.

Bahkan ditengah keadaan yang memprihatinkan tersebut, korporasi yang diduga melakukan pencemaran/pengrusakan lingkungan justru melakukan serangan balik melalui SLAPP Suit (Strategic Lawsuit Against Public Participation), yakni strategi hukum untuk meredam/membungkan masyarakat yang kritis terhadap pencemaran/pengrusakan yang dilakukan korporasi. Beberapa bentuk SLAPP Suit yang dilakukan oleh korporasi diantaranya gugatan PT. Newmont Minahasa Raya terhadap individu dan organisasi lingkungan hidup. Juga perusahaan mediapun tidak luput dari gugatan perusahaan yang dinilai sebagai perusak lingkungan sebagaimana terjadi dalam gugatan PT. Riau Andalan Pulp & Paper terhadap Koran Harian Tempo.

Pepohonan di hutan ditebang tanpa ada upaya menanam kembali, sumber daya mineral digali dan diserap sementara limbah pertambangan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan dengan cara meracuni atau sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran air dan sebagainya. Dengan fakta tersebut, dari sudut pandang hukum, banyak orang bertanya : Indonesia telah memiliki perangkat hukum dalam pengelolaan lingkungan tetapi mengapa hukum tersebut tidak dapat mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan. Apakah hukum lingkungan di Indonesia telah efektif ditegakan ataukah malah sebaliknya tidak efektif dan cenderung hanya menjadi bahan diskusi dalam seminar-seminar lingkungan hidup. Lantas, dimana sebenarnya peran hukum dalam menciptakan keadilan ditengah-tengah masyarakat?. Mengapa kasus-kasus tersebut tidak pernah berhasil menyeret para pelaku perusakan lingkungan kedalam penjara?. Apakah hukum kita yang tidak mampu menjangkaunya ataukah kemauan dari aparat penegak hukum itu sendiri yang tidak ada atau meant SDM nya yang tidak memenuhi.

Oleh karena peliknnya masalah hukum dan kebijakan lingkungan serta penegakannya di Indonesia maka dalam tulisan ini penulis akan menguraikan tentang hukum dan kebijakan lingkungan serta pelaksanaanya di lapangan, mengurai tentang beberapa contoh pelaksanaan hukum dan kebijkan lingkungan yang terabaikan dan beberapa solusi penanganan masalah lingkungan berdasarkan kajian empiris dilapangan.

B.    PEMBAHASAN
1.    Hukum dan Kebijakan Lingkungan Di Indonesia

Sebenarnya permasalahan lingkungan hidup bukan merupakan permasalahan baru, yang baru adalah kesadaran kita bahwa aktivitas manusia yang telah menimbulkan permasalahan lingkungan hidup ini beserta akibat-akibatnya. Bagi negara-negara maju, lingkungan hidup merupakan permasalahan yang sangat serius, karena akibat dari kemajuan perekonomian suatu negara itu sendiri. Tetapi lambat laun, negara-negara berkembang menyadari pula permasalahan lingkungan bukanlah monopoli negara-negara maju. Negara-negara berkembang juga memiliki permasalahan lingkungan hidup tersebut.
Pada tahun 1972, permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian luas dari berbagai bangsa, yaitu sejak dilaksanakannya Konferensi Stockholm. Dikatakan Emil Salim bahwa:”...........pada permulaan tahun tujuh puluhan ini dunia mulai sadar dan cemas akan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sehingga mulai menanggapinya secara sungguh-sungguh sebagai masalah dunia. Dengan adanya Stockholm Declaration ini, perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan kuat, baik pada taraf nasional, regional, bahkan taraf internasional. Keuntungan yang diperoleh adalah dengan tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasan antara para ahli hukum dengan menggunakan Stockholm Declaration ini sebagai referensi bersama. Dalam hal ini Indonesia juga baru memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah lingkungan hidup pada tahun tujuh puluhan, yaitu setelah dilaksanakannya Konferensi Stockholm tersebut. Hal-hal yang menyebabkan mengapa Indonesia merasa wajib menangani masalah-masalah lingkungan hidup adalah : a) Kesadaran bahwa Indonesia sudah menghadapi masalah lingkungan hidup yang cukup serius, b) Keperluan untuk mewariskan kepada generasi mendatang sumbersumberalam yang bisa diolah secara berkelanjutan dalam proses jangkapanjang dan untuk tujuan pembangunan yang sedang giat-giatnya kitalaksanakan pada saat ini, c) Sebab Idiil, Indonesia ingin membangun manusia Indonesia seutuhnya baik materiil maupun sprituil berdasarkan Pancasila yang memuat ciri-ciri keselarasan hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Sebagian besar hukum Indonesia, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun keputusan hakim sebelum abad ke-20, ternyata tidaklah ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara menyeluruh, akan tetapi hanya untuk berbagai aspek yang menjangka uruang lingkup yang sempit. Dengan dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diganti menjadi UU. No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maka merupakan tonggak bagi pengaturan lingkungan hidup yang menyeluruh untuke depannya. 
Sekarang UU No. 23 Tahun 1997 telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-undang ini lebih rinci membahas tentang penanganan masalah pengelolaan lingkungan hidup. Undang-undang ini terdiri dari 17 Bab dan 127 pasal yang merupakan penyempurnaan Undang-undang sebelumnya yang hanya terdiri dari 11 bab dan 51 pasal. Sanksi pidana sebagai upaya dalam penegakan hukum diatur dalam bab XV mulai pasal 97 sampai dengan pasal 115.
2.    Penegakan Hukum dan Kebijakan Lingkungan
Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
  1. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
  2. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
  3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum terutama dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif barulah dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium). Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut. Apabila ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi maka diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi. Apabila upaya yang dilakukan menemui jalan buntu baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup. 
Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan perubahan yang bersifat positif ataupun negatif. Untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup maka perlu diusahakan peningkatan dampak positif dan mengurangi dampak negatif. Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut dengan kewenagan atribusi (Atributive bevoeghdheid), yaitu kewenangan yang melekat pada badan-badan pemerintah yang diperoleh dari Undang-Undang. Sehingga badan-badan pemerintah tersebut dengan demikian memilii kewenangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang memiliki legitimasi (kewenangan bertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena masalah legitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasan dan pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Sanksi administrasi merupakan kewenangan Menteri, Gubernur dan  Pemerintah Kabupaten/Kota.  Hal ini seperti tercantum dalam pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi :

“Menteri, gubernur atau bupati/walikota menerapka sangksi administrasi kepada penanggung jawab usaha dan/ataukegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan”.

Sanksi administrasi yang dimaksud pada ayat 1 tersebut terdiri atas : 1). Teguran tertulis, 2). Paksaan pemerintah, 3), pembekuan izin lingkungan dan 4). Pencabutan izin lingkungan. Lebih lanjut dalam pasal 77 diterangkan bahwa :
“Menteri dapat menerapkan sanksi administrasi terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang serius dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan”.

Selanjutnya dalam bab XV diatur tentang ketentuan pidana bagi para pengusaha/badan usaha/orang yang dengan sengaja melakukan pencemaran dan merusak lingkungan. Namun semua aturan dan ketetntuannay akan sangat tergantung pada pelaksanaan dilapangan. Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk melakukan pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusaha dapat dimintakan pertanggung jawaban jika lalai dalam menjalankan kewajibannya. 
3.    Kendala Penegakan Hukum dan Lingkungan di Indonesia
Usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas. Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah. Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan.
Ke depan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup. Pertama, mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kedua, adanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan seperti diatur dalam Pasal 97-115 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketiga, adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan. Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik. Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama. Di satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya memupuk disiplin lingkungan amat urgen dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.
Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi. Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan. Segenap stakeholders harus mempunyai tekad untuk memelihara lingkungan dari kemerosotan fungsi yang senantiasa mengancam kehidupan masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian, hukum lingkungan mempunyai peran yang sangat urgen dalam membantu mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kendala-kendala dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.    Kendala struktural
Terdapat 2 hal utama yang mengganggu penegakan hukum, yaitu pertama, masih dominannya pemikiran di kalangan penentu kebijaksanaan yang mempertentangkan pembangunan dengan lingkungan. Belum sepenuhnya tercipta clean and good goverment, yang memustahilkan penegakan hukum lingkungan yang efektif. kedua, harmonisasi pembangunan dan lingkungan dalam format paradigma pembangunan berkelanjutan (sustinable development) yang tercermin dalam dokumen-dokumen internasional, kenegaraan, dan pemerintah kita seperti GBHN, Deklarasi Rio, Agenda 21 Global, dan Agenda 21 Nasional, belum dipahami benar oleh mayoritas pengambilan keputusan di tingkat pemerintah pusat maupun daerah.
    2.    Kendala yang ada di masyarakat
    Pengelolaan pengaduan masyarakat di bidang lingkungan, bagaimana pengaduan mayarakat yang membawa informasi tentang terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan pada kenyataannys justru si pelapor/pembawa informadi tersebut yang menjadi korban seperti pengalaman pahit yang menimpa korban pencemaran lingkungan di daerah Tenggunung, Surabaya, yang harus rela membayar hukuman denda Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta), karena telah melaporkan sumurnya tercemar minyak dari pabrik di sebelah rumahnya. Dalam kasus tersebut si pelapor malah dituduh melakukan pelporan palsu  karena setelah diperiksa sumur terebut oleh polisi tidak diketemukan sumur skibst tercemari minyak sehingga perusahaan melakukan gugatan ke pelapor karena telah mencemarkan nama baik perusahaan dengan membuat laporan palsu.
    Kenyataan sesungguhnya adalah bahwa sumur tersebut telah bersih ketika polisi datang karena korban sesuai dengan saran tim teknis KPPLH kepada korban untuk terus menerus mengebor sumurnya selama 1 minggu dan selah itu sumur tersebut terlihat bersih dari minyak barulah polisi datang memeriksa. Realitas ini membuktikan bahwa ketidakberdayaan korban pada akses teknologi lingkungan dan kontrol atas prosedur pelaporan lingkungan telah membuat dirinya menjadi korban berkelanjutan kerapuhan mekanisme penegakan hukum lingkungan itu sendiri.
    3.    Kendala di lapangan
    Dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh petugas yang terkait dengan lingkungan sering menemukan kesulitan-kesulitan yang dihadapi antar lain :
    1. Sulit menangkap pelaku pencemaran karena dalam pembuktianya tidak sesederhana dalam kasus-kasus lain, dimana dalam kasus pencemaran limbah cair (air sungai) merupakan akibat kumulatif dari pembuagan limbah cair yag ada di aliran sungai, maka penerapan azas kausalitas akan memakan waktu, dan biasanya pelaku telah menghilangkan bukti-bukti pencemaran.
    2. Pengambilan sample limbah dari suatu industri tidak mudah, kadangkala petugas harus membawa surat pengantar dari instansi petugas, sehingga perusahaan yang diduga melakukan pencemaran sudah melakukan pembersihan terhadap pencemaran pada saat petugas datang.
    3. Pembuangan limbah cair, kadangkala dibarengi dengan kondisi alam seperti adanya banjir di aliran sungai, pada malam hari, dan membuat aliran pembuangan tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang luar perusahaan.
    4. Pembuangan limbah yang dilakukan secara tersembunyi dan kurangnya tenaga ahli di bidang lingkungan, dimana untuk DKI Jakarta hanya mempunyai 5 orang ahli.
    5. Tertutupnya Area perusahaan dengan pagar tinggi atau bangunan besar dan merupakan area yang tidak mudah dimasuki oleh masyarakat atau petugas sekalipun, sehingga menyulitkan masyarakat ikut mengawasi pencemaran di lingkungan.
    6. Urusan Ekonomi menjadi hal yang utama sehingga lingkungan dinomor duakan oleh para pengusaha.
    7. Tidak semua pimpinan perusahaan sampai tingkat manager atau pemilik mempunyai Visi dalam pengelolaan lingkungan sehingga pengelolaan limbah hanya merupakan pemborosan biaya.
    8. Pemahaman Hakim dalam suatu sengketa lingkungan dimana bila hakim mengetahui bahwa dalam terjadinya pencemaran lingkungan tersebut, belum ada pembinaan dari instansi terkait, maka kasus pencemaran limbah cair dikembalikan. (tidak dapat dilanjutkan)
    9. Hanya limbah B3 saja yang sering atau pernah masuk dalam peradilan, sedangkan kasus limbah cair sering kali diselesaikan dalam jalur sanksi administrasi (penutupan saluran pembuangan, dan selanjutnya).
    4.    Beberapa Solusi Penegakan Hukum dan Kebijakan Lingkungan 
    Sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan seperti kepentingan Negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan rakyat maupun kepentingan lingkungan itu sendiri. Penempatan kepentingan itu selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus konflik kepentingan tersebut. 
    Masalah lingkungan tidak selesai dengan pemberlakuan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih harus diuji dalam pelaksanaannya (uitvoering atau implementation) sebagai bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. 
    Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa memperdulikan masalah lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah. Pepohonan di hutan ditebang tanpa ada upaya menanam kembali, sumber daya mineral digali dan diserap sementara limbah pertambangannya yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan dengan cara meracuni atau sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran air dan sebagainya. Dengan kenyaataan seperti tersebut diatas banyak orang bertanya : Indonesia telah memiliki perangkat hukum, namun kenapa hukum tersebut tidak dapat mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan. Singkatnya, apakah hukum lingkungan di Indonesia telah efektif ditegakan? Bila membicarakan efektivitas hukum lingkungan berarti membicarakan daya kerja hukum lingkungan itu dalam mengatur dan/ atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum lingkungan. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Faktor-faktor tersebut adalah (1) kaidah hukum/ peraturan itu sendiri; (2) petugas/ penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat. Hal itu akan diuraikan secara berturut-turut sebagai berikut :
    1.    Kaidah Hukum
    Sebagai negara hukum, keberadaan kaidah hukum dalam berbagai bentuk peraturan di Indonesia adalah hal yang sudah semestinya ada. Keberlakuan hukum lingkungan di wilayah Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Hukum lingkungan tidak hanya terbentuk pada era Kemerdekaan saja melainkan telah ada sejak zaman Hindia Belanda dan Jepang. Hukum lingkungan yang dibuat oleh para regulator bertujuan agar lingkungan dapat dikelola dengan baik sehingga pemanfaatan dan kelestarian lingkungan dapat diupayakan semaksimal mungkin. Umumnya kaidah hukum lingkungan di Indonesia mencakup 4 (empat) bidang besar, yaitu:
    1. Hukum Penataan Ruang (termasuk pengendalian penggunaan tanah dan sumber-sumber daya lingkungan)
    2. Hukum Konservasi (hayati, non hayati, buatan, termasuk benda cagar budaya)
    3. Hukum Kependudukan (termasuk kebutuhan sumber daya manusia)
    4. Hukum Pencemaran Lingkungan (dalam kaitannya dengan pencegahan dan penanggulangan pencemaran).
    Dengan adanya kaidah hukum tersebut, diharapkan dapat menjadi dasar bagi negara dan masyarakat berpartisipasi secara maksimal dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia.
    2.    Petugas/ Penegak Hukum
    Di Indonesia, keberadaan dan fungsi penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mendapat sorotan yang luas dari masyarakat. Masyarakat banyak menganggap penegak hukum tidak menerapkan hukum sesuai dengan aturannya, tidak transparan, bersifat pilih kasih, dan ini yang lebih parah penegak hukum dianggap sebagai aktor penunjang pengrusakan lingkungan hidup. Berbagai kasus lingkungan yang berdampak besar bagi kerusakan lingkungan diduga ‘dibeking’ oleh aparat penegak hukum. Berbagai contoh kasus tersebut adalah: 

    1. Sering terjadi kasus penambangan liar di suatu wilayah yang dijaga oleh aparat keamanan, padahal patut diduga pertambangan liar tersebut tanpa memiliki ijin Amdal dan ijin pertambangan lainnya yang terkait.
    2. Pelaku “illegal logging’ yang kerap mendapat perlakuan istimewa dari aparat hukum, sampai-sampai aparat hukum membantu mencari cara bagaimana pelaku illegal logging tersebut dapat dihukum seringan-ringannya atau bahkan bebas dari jerat hukum. Hal ini dapat menjadi preseden buruk penegakan hukum lingkungan di Indonesia, padahal adanya ketentuan pidana yang diberlakukan diharapkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku pengrusakan lingkungan. Dengan hukuman yang ringan mustahil pelaku illegal logging atau pelaku perusak lingkungan lainnya merasakan jera atas perbuatannya.
    3. Kasus-kasus pengrusakan lingkungan ditangani oleh aparat secara tidak profesional dan tidak proporsional, misalnya kasus Lapindo yang menurut penulis lebih menitikberatkan pada sisi keperdartaannya saja yaitu adanya ganti rugi kepada pemilik lahan yang terkena lumpur panas, namun sisi hukum lainnya yang juga penting diabaikan misalnya sampai saat ini hukum pidana lingkungan yang harus diterapkan tidak dilaksanakan secara maksimal. Memang ada juga prestasi dari penegak hukum dalam lingkungan hidup yang patut mendapat pujian dari masyarakat, namun hal tersebut tidak sebanding dengan perlakuan penegak hukum yang tidak menegakan hukum lingkungan secara benar dan konsekuen. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikan pula sebaliknya, apabila peraturannya buruk, sedangkan kualitas petugasnya baik, mungkin pula timbul masalah-masalah.
    3.    Sarana/ Fasilitas
    Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik, bagiamana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat mengejar pelaku pengrusakan dan pencemaran lingkungan apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan pengejaran yang canggih dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses tetapi justru mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya, ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan pada: (1) apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.
    4.    Warga Masyarakat
    Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang dimaksud di sini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut :
    1. Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan ‘larangan merokok pada tempat umum’ adalah tinggi maka peraturan ‘larangan merokok pada tempat umum” dimaksud, pasti akan berfungsi sehingga polusi udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat dapat dikurangi. Jikalau aturan ini ditaati secara tinggi maka tidak akan ada orang merokok di ‘non-smoking area’ melainkan di ‘smoking area’ (fasilitas perokok disediakan).
    2. Apabila derajat kepatuhan rendah maka peraturan perihal larangan membuang sampah sembarangan yang disertai ancaman sanksi denda uang maupun hukuman kurungan, tidak akan berlaku secara efektif. Akibatnya lingkungan menjadi kotor, semrawut bahkan pada musim hujan menumpuknya sampah tidak pada tempatnya akan menimbulkan bencana banjir.
    Upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : Pertama, meningkatkan program sosialisasi dari tingkat pusat sampai ke desa-desa, khususnya berkaitan dengan hak dan kewajiban serta berbagai permasalahan riil yang dihadapi oleh masyarakat, seperti prosedur AMDAL, perizinan dan dampak positif dan negatif apabila prosedur tersebut tidak dilakukan. Kedua, meningkatkan kesadaran hukum (mental) semua pihak. Ke, menindak tegas oknum pemerintah/aparat yang menyalahgunakan wewenangnya dan menindak tegas pelaku perusakan/pencemaran lingkungan tanpa tebang pilih sehingga masyarakat percaya dengan upaya penegakan hukum lingkungan. Keempat, memangkas proses birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Kelima, semakin meningkatkan kualitas dalam pemberian penghargaan dibidang lingkungan, khususnya kriteria penilaian dengan memasukkan kriteria pembangunan berwawasan lingkungan, baik ditingkat nasional maupun di daerah-daerah. Keenam, menghindari penggunaan sarana hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan yang masih dapat menggunakan sarana hukum lain yang lebih efektif. Contohnya Perda tentang pembuangan sampah disembarang tempat dengan sanksi pidana kurungan dan denda yang tinggi yang ternyata tidak efektif. Tumbuhnya kesadaran hukum lingkungan diharapkan dapat mendukung terwujudnya slogan "Pembangunan Berwawasan Lingkungan" menjadi kenyataan dan tidak hanya sekedar menjadikannya sebagai visi dan misi pembangunan saja.
    C.    PENUTUP
    Masyarakat Indonesia dalam kenyataannya lebih akrab dengan lingkungan alamnya daripada penerapan teknologi. Perkembangan teknologi yang mengelola sumber daya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya sehingga tetap bermanfaat bagi generasi-generasi mendatang. Dengan memperhatikan kualitas lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi sebagai komoditi masyarakat setempat yang tersubsistem. Hanya tindakan manusia yang membuat seolah-olah mampu menguasai alam sehingga hampir semua lingkungan hidup sudah tersentuh oleh kehidupan manusia. 

    Penegakkan hukum lingkungan dapat dilakukan dengan pemberian sanksi yang berupa sanksi administrasi. Sanksi administrasi, penyelesaian masalah lingkungan diluar pengadilan bahkan sanksi pidana telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 terhadap penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan /atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang. 
    Beberapa hal yang perlu dicermati oleh pemerintrah sebagai bahan refleksi adalah sebagai berikut : pertama, kita telah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan telah diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai Umbrella Act (payung huum) bagi peraturan yang lain yang juga mengatur mengenai lingkungan yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat sebagai pemilik tanah dan air. Namun masalah utama pengelolaan lingkungan hidup tidak pernah ada usaha yang sungguh-sungguh untuk peduli masalah lingkungan. Kedua, perlindungan lingkungan masih minoritas ketimbang semangat mengeksploitasi. Ini dapat dilihat dari perangkat lingkungan tentang sumberdaya alam, yang diterbitkan sekedar untuk mengatur eksploitasi daripada konservasi.

    DAFTAR PUSTAKA
    Azhar, 2003. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Palembang, Universitas Sriwijaya.

    Ayu, KRH I Gusti. 2005. Upaya Penegakan Hukum Lingkungan. Harian Solopos, 5 Juni 2005.

    Boehmer-Cristiansen S. 1994. Policy and Environmental Management. Journal of Environmental Planning and Management. 37 (1).

    Eggi Sudjana Riyanto, 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektig Etika Bisnis di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

    Hadjon, Philipus. 1998. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta, UGM Press.

    Kartawinata. 1990. Bentuk-bentuk Eksploitasi Sumber daya ALam. Laporan Peneloitian BPTP-DAS Surakarta.

    Nabil Makarim, 2003. Sambutan Dalam Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.

    Siti Sundari Rangkuti, 2003. Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.

    Kementrian Lingkungan Hidup RI, HImpunan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2002

    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar