PENGOLAHAN SAMPAH DI KOTA TEGAL
IMPLEMENTASI PERDA NO. 6 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGARAAN KEBERSIHAN KOTA DAN PENGUMPULAN SERTA PEMBUANGAN SAMPAH/KOTORAN
DI KOTA TEGAL
OLEH : IRWAN SUSIANTO
A. PENDAHULUAN
Persampahan merupakan isu penting dalam masalah lingkungan perkotaan yang dihadapi sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas pembangunan. Peningkatan volume sampah berkembang secara eksponensial yang belum dibarengi dengan peningkatan pendapatan Pemerintah Daerah yang sepadan untuk pengelolaan sampah kota (Puslitbang Permukiman, Bandung, 2000). Hal lain berkaitan dengan semakin sulit dan mahalnya untuk mendapatkan lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah juga letaknya yang semakin jauh telah memperpanjang transportasi dan meningkatkan biaya pengangkutannya. Sampah padat, salah satu jenis sampah merupakan material yang terus menerus meningkat dan dibuang oleh masyarakat. Sampah adalah segala bentuk limbah yang ditimbulkan dari kegiatan manusia maupun binatang yang biasanya berbentuk padat dan secara umum sudah dibuang, tidak bermanfaat atau tidak dibutuhkan lagi (Theisen, 1997:45).
Timbulan sampah padat tidak dapat dihentikan akan tetapi harus dikelola, dikurangi atau diminimalisasi secara baik. Pembiayaan dalam pengelolaan sampah harus secara efektif dikelola oleh Pemerintah Daerah. Karena pada umumnya, pengelolaan sampah memerlukan anggaran/biaya yang besar terutama untuk biaya teknik operasional dari pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan sampai di tempat pembuangan akhir. Pada kota-kota besar dan sedang di Indonesia, kemampuan PEMDA dalam menangani sampah masih terbatas. Secara nasional, sampai tahun 2000, tingkat pelayanan baru mencapai 40 % dari volume sampah yang dihasilkan. Sampah yang tidak terkelola dengan baik merupakan salah satu penyebab makin meningkatnya pencemaran air, tanah dan udara serta meningkatkan potensi banjir di perkotaan. Permasalahan persampahan perlu ditangani secara serius dengan teknis, operasional dan manajemen yang tepat dan terpadu berdasarkan kondisi dan kebijakan daerah masing-masing (Puslitbang Permukiman, Bandung, 2000).
Pengelolaan sampah sementara ini dipandang hanya sebagai tanggungjawab pemerintah semata. Masyarakat lebih berperan hanya sebagai pihak yang dilayani karena mereka merasa sudah cukup hanya dengan membayar uang retribusi sampah sehingga penanganan selanjutnya adalah menjadi tanggungjawab pemerintah. Padahal saat ini sudah ada sistem yang lebih baik dan efisien dan dianggap modern yaitu konsep zero waste, dengan menerapkan pengelolaan sampah secara terpadu, mengurangi volume sampah dari sumbernya dengan cara daur ulang dan pengkomposan.
Untuk mencapai kondisi masyarakat yang hidup sehat dan sejahtera di masa yang akan datang, akan sangat diperlukan adanya lingkungan permukiman yang sehat. Dari aspek persampahan maka kata sehat akan berarti sebagai kondisi yang akan dapat dicapai bila sampah dapat dikelola secara baik sehingga bersih dari lingkungan permukiman dimana manusia beraktifitas di dalamnya (Permen PU nomor : 21/PRT/M/2006). Secara umum, menurut Peraturan Menteri PU nomor : 21/PRT/M/2006, daerah yang mendapatkan pelayanan persampahan yang baik dapat ditunjukkan dengan kondisi sebagai berikut :
- Seluruh masyarakat memiliki akses untuk penanganan sampah yang dihasilkan dari aktifitas sehari-hari, baik di lingkungan perumahan, perdagangan, perkantoran, maupun tempat-tempat umum lainnya.
- Masyarakat memiliki lingkungan permukiman yang bersih karena sampah yang dihasilkan dapat ditangani secara benar.
- Masyarakat mampu memelihara kesehatannya karena tidak terdapat sampah yang berpotensi menjadi bahan penularan penyakit seperti diare, tipus, disentri dan lain-lain serta gangguan lingkungan baik berupa pencemaran udara, air atau tanah.
- Masyarakat dan dunia usaha/swasta memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah sehingga memperoleh manfaat bagi kesejahteraannya.
Persoalan lingkungan yang selalu menjadi isu besar di hampir seluruh wilayah perkotaan adalah masalah sampah (Febrianie dalam Kompas 10 Januari 2004). Arif Rahmanullah dalam Kompas, 13 Agustus 2003 mengatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di kota dimungkinkan menjadi daya tarik luar biasa bagi penduduk untuk hijrah ke kota (urbanisasi). Akibatnya jumlah penduduk semakin membengkak, konsumsi masyarakat perkotaan melonjak, yang pada akhirnya akan mengakibatkan jumlah sampah juga meningkat. Pertambahan jumlah sampah yang tidak diimbangi dengan pengelolaan yang ramah lingkungan akan menyebabkan terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan (Tuti Kustiah, 2005 : 1).
Saat ini hampir seluruh pengelolaan sampah berakhir di TPA sehingga menyebabkan beban TPA menjadi sangat berat, selain diperlukan lahan yang cukup luas juga diperlukan fasilitas perlindungan lingkungan yang sangat mahal. Semakin banyaknya jumlah sampah yang dibuang ke TPA salah satunya disebabkan belum dilakukannya upaya pengurangan volume sampah secara sungguh-sunguh sejak dari sumber (Tuti Kustiah : 2005:3).
Pertumbuhan volume sampah di Kota Tegal berdasarkan data tercatat 700 m3 per hari. Nur Effendi dalam Koran Lokal.com tanggal 30 Juni 2011 mengatakan bahwa produksi sampah di kota Tegal yang mencapai 700 m3 perhari akan diolah untuk memenuhi kebutuhan pabrik guna menghasilkan listrik. Di Kota Tegal ternyata rata-rata pertumbuhan jumlah sampah jauh melebihi pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini menjadi alasan kuat bahwa masalah sampah merupakan masalah utama yang harus dipecahkan baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Selain masalah volume sampah yang terus meningkat, Pemerintah Kota Tegal saat ini juga menghadapi berbagai persoalan terkait penanganan sampah berupa keterbatasan biaya operasional dan sarana prasarana pengelolaanya. Menurut Abdullah Sungkar dalam Pantura News tanggal 24 Maret 2011 mengatakan bahwa sampah yang diproduksi masyarakat kota Tegal mencapai 1140 ton perhari, dari jumah tersebut 57% bisa terangkut dan sisanya masih berada dilingkungan masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa kendala utama yang dihadapi pemerintah kota dalam menangani sampah adalah kurangnya sarana dan prasarana pengangkut sampah.
Masalah infrastruktur juga menjadi kendala dalam pengelolaan sampah di kota Tegal. Sebagai contoh, Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Di Muarareja sebagai tempat pembuangan sampah Kota Tegal akan segera berakhir masa pakainya pada tahun 2011. Sementara itu sampai saat ini belum ditemukan lokasi TPA pengganti yang memenuhi syarat. Namun demikian permasalahan pengelolaan sampah tetap menjadi prioritas dalam pembangunan kota Tegal. Menurut Walikota Tegal Ikmal Jaya dalam Suara Merdeka tanggal 14 April 2009 menyatakan bahwa akan menangani masalah sampah. Apalagi dari hasil penilaian Bangun Praja (Adipura) yang dilakukan November 2008, Kota Tegal hanya mendapat nilai 62,4 dan berada pada urutan 32 dari 35 Kabupaten/Kota di Jateng. Lebih lanjut dikatakan bahwa Pemerintah akan konsen untuk meningkatkan masalah kebersihan dan penghijauan di Kota Tegal. Dengan demikian diharapkan pada tahun mendatang nilai yang diperoleh akan meningkat.
Oleh karena peliknya masalah penanganan sampah dikota-kota termasuk di kota Tegal maka dalam makalah ini akan kami paparkan hal-hal yang berkaitan dengan sampah mulai dari teknik-teknik pengolahan sampah, permasalahan sampah dan upaya-upaya mengatasi permasaahan sampah terutama pengelolaan sampah di kota Tegal sebagai implementasi dari perda N0. 6 tahun 1995 dan Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
B. PEMBAHASAN
Kota yang selalu berkembang dari tahun ke tahun dan dengan segala aktivitas penduduknya memerlukan pelayanan dari pemerintah kota sebagai pengelola pembangunan kota. Seiring dengan kondisi ruang dari waktu ke waktu akan mengakibatkan tuntutan pemenuhan kebutuhan penduduk akan sarana dan prasarana semakin meningkat termasuk dalam hal persampahan. Apabila berbicara tentang tata ruang kota maka berbicara tentatidak akan lepas dari alokasi materi didalam ruang sehingga akan menyangkut besaran apa dan dimana. Setiap besaran didalam ruang tersebut apa dan dimana selalu bergerak dari penduduk (jumlah penduduk) dan standar tingkat kesejahteraannya.
Pemerintah Daerah pada umumnya memiliki garis kebijakan dasar dalam hal pengelolaan ruang kota yang tertuang didalam Rencana Tata Ruang Kota setempat dengan berbagai tingkatan wilayah dan kandungan materi yang menyertainya. Tata Ruang Kota adalah sebuah sistem besar di dalam kota, dimana didalamnya terdiri dari beberapa subsistem penyusunnya, yaitu : subsistem perumahan, pendidikan, kesehatan, keagamaan, pelayanan umum (perkantoran),perdagangan, perindustrian, listrik, air bersih, telepon, persampahan, jaringan transportasi kota, drainase kota, pariwisata, kelembagaan, dan pembiayaan.Idealnya tiap subsistem diatas memiliki arahan kebijakan tersendiri (kebijakan sektoral) yang saling terpadu dan terintegrasi dalam hal alokasi besarannya didalam ruang sesuai dengan kebutuhan penduduk kota. Wujud keterpaduan tersebut idealnya akan tertuang di dalam Rencana Tata Ruang Kota (RTRK).
Kota dengan daya tarik yang dimilikinya dan agar mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya maka harus memiliki penghuni yang aktif, kreatif, bertanggungjawab dan memiliki sumber modal (Bintarto, 1997:51). Perkembangan kota yang cepat membawa dampak pada masalah lingkungan. Perilaku manusia terhadap lingkungan akan menentukan wajah kota, sebaliknya lingkungan juga akan mempengaruhi perilaku manusia. Lingkungan yang bersih akan meningkatkan kualitas hidup (Alkadri et al, 1999 : 159).
Perkembangan kota akan diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk, yang juga akan berakibat pada masalah-masalah sosial dan lingkungan. Salah satu masalah lingkungan yang muncul adalah masalah persampahan. Permasalahan lingkungan yang terjadi akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan (Alkadri et al, 1999 : 163). Sampah akan menjadi beban bumi, artinya ada resiko-resiko yang akan ditimbulkannya (Hadi, 2000 : 40). Ketidakpedulian terhadap permasalahan pengelolaan sampah berakibat terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang tidak memberikan kenyamanan untuk hidup sehingga akan menurunkan kualitas kesehatan masyarakat. Degradasi tersebut lebih terpicu oleh pola perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan seperti membuang sampah di badan air sehingga sampah akan menumpuk di saluran air yang ada dan menimbulkan berbagai masalah turunan lainnya. Kondisi ini sering terjadi di wilayah-wilayah padat penduduk di perkotaan.
1. SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH
Pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendaur-ulangan atau pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yg dihasilkan dari kegiatan manusia dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat, cair, gas atau radioaktif dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.
Praktek pengelolaan sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara berkembang , berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan, berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yg tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah. Metode pengelolaan sampah berbeda beda tergantung banyak hal diantaranya tipe zat sampah , tanah yg digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area.
Sistem pengelolaan sampah adalah proses pengelolaan sampah yang meliputi 5 (lima) aspek yang saling mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan (Dept. Pekerjaan Umum, SNI 19-2454-2002). Kelima aspek tersebut meliputi: aspek teknis operasional, aspek organisasi dan manajemen, aspek hukum dan peraturan, aspek pembiayaan, aspek peran serta masyarakat. Kelima aspek tersebut di atas ditunjukkan pada gambar berikut ini. Dari gambar tersebut terlihat bahwa dalam sistem pengelolaan sampah antara aspek teknis operasional, organisasi, hukum, pembiayaan dan peran serta masyarakat saling terkait tidak dapat berdiri sendiri.
a. ASPEK TEKNIK OPERASIONAL
Aspek Teknis Operasional merupakan komponen yang paling dekat dengan obyek persampahan. Menurut Hartoyo (1998:6), perencanaan sistem persampahan memerlukan suatu pola standar spesifikasi sebagai landasan yangjelas. Spesifikasi yang digunakan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor19-2454-2002 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukikman. Teknik operasional pengelolaan sampah bersifat integral dan terpadu secara berantaidengan urutan yang berkesinambungan yaitu : penampungan/pewadahan, pengumpulan, pemindahan, peng-angkutan, pembuangan/pengolahan.
1). Penampungan Sampah
Proses awal dalam penanganan sampah terkait langsung dengan sumber sampah adalah penampungan. Penampungan sampah adalah suatu cara penampungan sampah sebelum dikumpulkan, dipindahkan, diangkut dan dibuangke TPA. Tujuannya adalah menghindari agar sampah tidak berserakan sehingga tidak menggangu lingkungan. Faktor yang paling mempengaruhi efektifitas tingkat pelayanan adalah kapasitas peralatan, pola penampungan, jenis dan sifat bahan dan lokasi penempatan (SNI 19-2454-2002)
2). Pengumpulan Sampah
Pengumpulan sampah adalah cara proses pengambilan sampah mulai daritempat penampungan sampah sampai ke tempat pembuangan sementara. Polapengumpulan sampah pada dasarnya dikempokkan dalam 2 (dua) yaitu pola individual dan pola komunal (SNI 19-2454-2002) sebagai berikut :
a) Pola Individual
Proses pengumpulan sampah dimulai dari sumber sampah kemudian diangkut ke tempat pembuangan sementara/ TPS sebelum dibuang ke TPA.
b) Pola Komunal
Pengumpulan sampah dilakukan oleh penghasil sampah ke tempat penampungan sampah komunal yang telah disediakan / ke truk sampah yang menangani titik pengumpulan kemudian diangkut ke TPA tanpa proses pemindahan.
3). Pemindahan Sampah
Proses pemindahan sampah adalah memindahkan sampah hasil pengumpulan ke dalam alat pengangkutan untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir. Tempat yang digunakan untuk pemindahan sampah adalah depo pemindahan sampah yang dilengkapi dengan container pengangkut dan atau ramdan atau kantor, bengkel (SNI 19-2454-2002). Pemindahan sampah yang telah terpilah dari sumbernya diusahakan jangan sampai sampah tersebut bercampur kembali (Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002 : 29).
4). Pengangkutan sampah
Pengangkutan adalah kegiatan pengangkutan sampah yang telah dikumpulkan di tempat penampungan sementara atau dari tempat sumber sampahke tempat pembuangan akhir. Berhasil tidaknya penanganan sampah juga tergantung pada sistem pengangkutan yang diterapkan. Pengangkutan sampah yang ideal adalah dengan truck container tertentu yang dilengkapi alat pengepres sehingga sampah dapat dipadatkan 2-4 kali lipat (Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002:29). Tujuan pengangkutan sampah adalah menjauhkan sampah dari perkotaan ketempat pembuangan akhir yang biasanya jauh dari kawasan perkotaan dan permukiman.
5). Pembuangan akhir sampah
Pembuangan akhir merupakan tempat yang disediakan untuk membuang sampah dari semua hasil pengangkutan sampah untuk diolah lebih lanjut. Prinsip pembuang akhir sampah adalah memusnahkan sampah domestik di suatu lokasi pembuangan akhir. Jadi tempat pembuangan akhir merupakan tempat pengolahan sampah. Menurut SNI 19-2454-2002 tentang Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, secara umum teknologi pengolahan sampah dibedakan menjadi 3 metode yaitu :
- Metode Open Dumping, Merupakan sistem pengolahan sampah dengan hanya membuang/menimbun sampah disuatu tempat tanpa ada perlakukan khusus/pengolahan sehingga sistem ini sering menimbulkan gangguan pencemaran lingkungan.
- Metode Controlled Landfill (Penimbunan terkendali), Controlled Landfill adalah sistem open dumping yang diperbaiki yang merupakan sistem pengalihan open dumping dan sanitary land fill yaitu dengan penutupan sampah dengan lapisan tanah dilakukan setelah TPA penuh yang dipadatkan atau setelah mencapai periode tertentu.
- Metode Sanitary landfill (Lahan Urug Saniter), Sistem pembuangan akhir sampah yang dilakukan dengan cara sampah ditimbun dan dipadatkan kemudian ditutup dengan tanah sebagai lapisan penutup. Pekerjaan pelapisan tanah penutup dilakukan setiap hari pada akhir jam operasi.
b. ASPEK KELEMBAGAAN
Organisasi dan manajemen mempunyai peran pokok dalammenggerakkan, mengaktifkan dan mengarahkan sistem pengelolaan sampah dengan ruang lingkup bentuk institusi, pola organisasi personalia serta manajemen. Institusi dalam sistem pengelolaan sampah memegang peranan yangsangat penting meliputi : struktur organisasi, fungsi, tanggung jawab dan wewenang serta koordinasi baik vertikal maupun horizontal dari badan pengelola (Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002 : 29). Jumlah personil pengelola persampahan harus cukup memadai sesuai dengan lingkup tugasnya. Untuk sistem pengumpulan jumlah personil minimal 1orang per 1.000 penduduk yang dilayani sedangkan sistem pengangkutan, sistempembuangan akhir dan staf minimal 1 orang per 1.000 penduduk (SNI 19-2454-2002).
c. ASPEK PEMBIAYAAN
Aspek pembiayaan berfungsi untuk membiayai operasional pengelolaan sampah yang dimulai dari sumber sampah/penyapuan, pengumpulan, transfer dan pengangkutan, pengolahan dan pembuangan ahkir. Selama ini dalam pengelolaan sampah perkotaan memerlukan subsidi yang cukup besar kemudian diharapkan sistem pengelolaan sampah ini dapat memenuhi kebutuhan dana sendiri dari retribusi (Dit.Jend. Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Dep.Kimpraswil, 2003). Menurut SNI–T-12-1991-03 tentang Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, biaya pengelolaan sampah dihitung berdasarkan biaya operasional dan pemeliharaan serta pergantian peralatan. Perbandingan biaya pengelolaan dari biaya total pengelolaan sampah sebagai berikut :
- biaya pengumpulan 20 % - 40 %
- biaya pengangkutan 40 % - 60 %
- biaya pembuangan akhir 10% - 30 %
Biaya pengelolaan persampahan diusahakan diperoleh dari masyarakat (80%) dan Pemerintah Daerah (20%) yang digunakan untuk pelayanan umum antara lain : penyapuan jalan, pembersihan saluran dan tempat-tempat umum. Sedangkan dana pengelolaan persampahan suatu kota besarnya disyaratkan minimal ± 10 % dari APBD. Besarnya retribusi sampah didasarkan pada biaya operasional pengelolaan sampah (Dit. Jendral Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Dep.Kimpraswil, 2003). Di Indonesia besar retribusi yang dapat ditarik dari masyarakat setiap rumah tangga besarnya ± 0,5 % dan maksimum 1 % dari penghasilan per rumah tangga per bulan (Dit. Jendral Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Dep.Kimpraswil, 2003).
Pembiayaan pengelolaan sampah di kota Tegal telah diatur dalam Perda No. 6 tahun 1995 Tentang Penyelenggaran Kebersihan dan Pembuangan Sampah-sampah/kotoran di Kota Tegal.
d. ASPEK PERATURAN/ HUKUM
Menurut Hartoyo (1998 : 8) prinsip aspek peraturan pengelolaan persampahan berupa peraturan-peraturan daerah yang merupakan dasar hukum pengelolaan persampahan meliputi hal-hal sebagai berikut :
- Perda yang dikaitkan dengan ketentuan umum pengelolaan kebersihan.
- Perda mengenai bentuk institusi formal pengelolaan kebersihan.
- Perda yang khusus menentukan struktur tarif dan tarif dasar pengelolaan Kebersihan. Peraturan-peraturan tersebut melibatkan wewenang dan tanggung jawab pengelola kebersihan serta partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan dan pembayaran retribusi.
e. ASPEK PERAN SERTA MASYARAKAT
Peran serta masyarakat sangat mendukung program pengelolaan sampah suatu wilayah. Peran serta masyarakat dalam bidang persampahan adalah proses dimana orang sebagai konsumen sekaligus produsen pelayanan persampahan dan sebagai warga mempengaruhi kualitas dan kelancaran prasarana yang tersedia untuk mereka. Peran serta masyarakat penting karena peran serta merupakan alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, masyarakat lebih mempercayai proyek/program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan (LP3B Buleleng-CleanUp Bali, 2003).
Bentuk peran serta masyarakat dalam penanganan atau pembuangan sampah antara lain : pengetahuan tentang sampah/kebersihan, rutinitas pembayaran retribusi sampah, adanya iuran sampah RT/RW/Kelurahan.
2. DAMPAK NEGATIF SAMPAH
Menurut Gelbert dkk (1996:46-48), jika sampah tidak dikelola denganbaik akan menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan, yaitu :
a. Dampak Terhadap Kesehatan
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalatdan anjing yang dapat menjangkitkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut (Gelbert dkk 1996 : 46-48) :
- Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum.
- Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
- Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnnya masuk ke dalam pencernakan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan/sampah.
- Sampah beracun : Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi baterai dan akumulator.
b. Dampak Terhadap Lingkungan
Cairan rembesan sampah (lindi) yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis (Gelbert dkk., 1996). Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak (Gelbert dkk., 1996).
c. Dampak Terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi
Dampak-dampak tersebut menurut Gelbert dkk, 1996 adalah sebagai berikut:
- Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yangkurang menyenangkan bagi masyarakat: bau yang tidak sedap danpemandangan yang buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.
- Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan.
- Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas).
- Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akanmemberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan,drainase, dan lain-lain.
- Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidakmemadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengelolaan air.
3. PERMASALAHAN PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA TEGAL
Ada beberapa masalah yang dihadapi Pemerintah Kota Tegal dalam pengelolaan sampah antara lain :
- Volume sampah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk Kota Tegal. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nur Effendi dalam Koran Local.com tanggal 30 Juni 2011 bahwa Pertumbuhan volume sampah di Kota Tegal berdasarkan data tercatat 700 m3 per hari. Menurut Abdullah Sungkar dalam Pantura News tanggal 5 Desember 2011 mengatakan bahwa sampah yang diproduksi masyarakat kota Tegal mencapai 1140 ton perhari, dari jumah tersebut 57% bisa terangkut dan sisanya masih berada dilingkungan masyarakat.
- Biaya operasional pengelolaan sampah yang semakin meningkat. Sementara pendapatan dalam bentuk retribusi masih sangat kecil dan tidak sebanding dengan besaran anggaran yang digunakan untuk pengelolaan sampah. Bagi Pemerintah Kota Tegal peningkatan biaya ini seiring dengan peningkatan volume sampah yang dihasilkan masyarakat. Untuk masalah retribusi telah diatur dalam Perda No. 6 Tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Kebersihan Kota dan Pembuangan Sampah-sampah/kotoran.
- Usia teknis TPSA Muarareja yang akan berakhir pada tahun 2011. Sistem pengelolaan sampah Kota Tegal berakhir di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA), yang berlokasi di Desa Muarareja. TPSA ini akan habis usia teknisnya pada tahun 2011. Hal ini akan menjadi masalah besar karena Kota Tegal tidak memiliki lahan untuk digunakan sebagai TPSA.
- Sarana dan prasarana yang kurang memadai. Kota Tegal hanya memiliki 10 unit drum truk dan 4 unit amrol. Sebagaimana yang disampaikan oleh Abdullah Sungkar dalam Pantura News.com tanggal 5 Desember 2011 kendala utama yang dihadapi Pemkot Tegal dalam menangani sampah adalah masih kurangnya sarana dan prasarana pengangkut sampah yang hanya memiliki 10 dump truk dan 4 unit amrol.
- Belum adanya kebijakan khusus atau peraturan khusus atau peraturan daerah tentang pengolahan sampah. Selama ini peraturan mengenai sampah hanya tentang retribusi yang diatur dalam Perda No. 6 tahun 1996 tentang penyelenggaraan kebersihan kota dan pembuangan sampah-sampah/kotoran. Hal ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Walikota Tegal Ikmal Jaya dalam pantura News.com tanggal 5 Desember 2011 bahwa sekalipun Perda tentang sampah belum dibuat, namun selama ini Pemkot Tegal sudah berupaya keras mensosialisasikan dan bertindak langsung melakukan kebersihan lingkungan dari tingkat RT sampai SKPD. Kami juga akan melakukan penataan PKL secepatnya. Kami juga berharap partisipasi warga untuk tetap menjaga kebersihan agar piala Adipura bisa kembali diraih.
- Partisipasi masyarakat yang masih rendah. Parisipasi masyarakat masih rendah, terutama dalam sub sistem teknis operasional. Masih sedikit masyarakat yang mau mengelola sampahnya ditingkat sumber (rumah tangga).
- Belum memiliki teknik pengolahan sampah. Selama ini masih menggunakan teknik open dumping yang merupakan sistem pengolahan sampah dengan hanya membuang/menimbun sampah disuatu tempat tanpa ada perlakukan khusus/pengolahan sehingga sistem ini sering menimbulkan gangguan pencemaran lingkungan.
4. BERBAGAI SOLUSI PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA TEGAL
- Memasukkan upaya pengelolaan sampah dan kebersihan kota pada Raperda RTRW Tahun 2011-2030 seperti yang tertuang pada pasal 32 dan pasal 35.
- Memperbaiki sistem pengolahan limbah Tinja (IPLT) dan Instalasi pengolahan Air Limbah (IPAL) yang berada di Kelurahan Muarareja Kecamatan Tegal Barat.
- Pengembangan Tempat Pemerosesan Akhir (TPA) sampah regional di Kecamatan Songgom Kabupaten Brebes atau Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal.
- Pembangunan Tempat Pemrosesan Sementara (TPS) sampah di setiap Kelurahan.
- Pembangunan Tempat Pembuangan Akhir Sampah, Solusi yang akan dilakukan untuk pertama kali adalah pembuatan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan menjadi skala prioritas dalam kebijakan pembangunan pemerintah kota Tegal tahun 2012. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Ketua DPRD Kota Tegal H. Edi Suripno bahwa pembuatan TPA menjadi skala prioritas karena ditahun 2011 TPA yang selama ini menempati lahan miliki penduduk di wilayah Kelurahan Muarareja seluas 5 Ha akan habis masa kontraknya. Lokasi perencanaan pembuatan TPA sampah yang baru terletak di lahan milik warga yang berada di blok Bokong Semar Kelurahan Kaligangsa , Kecamatan Margadana, Kota Tegal. Saat ini bahkan telah dibuatkan Detail Enginering Design (DED) yang memakan anggaran sampai Rp 850 juta. Akan tetapi, rencana tersebut belum teraliasasi dikarenakan belum tersedianya jalan yang akan digunakan sebagai akses keluar masuk ke lokasi TPA sampah Bokong Semar. Untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah kota telah melakukan kaji ulang dan penganggaran kembali dana untuk pembebasan lahan milik penduduk di blok Bokong Semar.
- Pembangunan dan pengelolaan pabrik pengolahan sampah yang direncanakan akan dibangun di Bokong Semar Kelurahan Kaligangsa Kecamatan Margadana Kota Tegal Jawa Tengah.
Pemerintah Kota Tegal telah menjalin kerjasama dengan negara Belanda mengenai pengelolaan dan pengelolaan sampah. Bahkan tim verifikasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) telah datang ke Kota Tegal. Kepala Dinas Pemukiman dan Tata Ruang (Diskimtaru) Kota Tegal Ir. Nur Effendi dalam koran lokal.com tanggal 30 Juni 2011 mengatakan bahwa Pemkot Tegal berencana menjalin kerjasama pengelolaan dan pengelohaan sampah dengan negara asing yakni Belanda. Untuk memastikannya perwakilan negara Belanda yakni PT. ADM ENTEX telah datang ke Kota Tegal pada akhir bulan Juni 2011. Lebih lajut dikatakan bahwa sampah yang nanti diolah adalah sampah jenis organik karena sampah jenis ini yang bisa diolah menjadi berbagai macam seperti pupuk, bahkan gas karbon yang dihasilkan pada saat proses pembusukan sampah bisa dijadikan energi listrik.
Untuk tempat pengelolaan dan pengolahan sampah, Pemkot Tegal sudah menyediakan lahan di wilayah bokong semar kecamatan margadana, namun luas lahan akan disesuaikan dengan kebutuhan. Effendi menambahkan, bantuan dan kerjasama pengolahan sampah organik di Kota Tegal merupakan wujud kepedulian negara-negara maju yang tidak bisa maksimal dalam mengatasi pencemaran gas karbon sehingga mengalihkannya ke negara-negara berkembang seperti indonesia.
Pada tanggal 24 Juni 2011 Director Sustainable Development and and Multimedia Ltd Dipl Ing Marshal S J Manengkei telah mempresentasikan mengenai teknologi yang digunakan untuk mengolah sampah menjadi energi listrik. Dalam paparannya, Marshal menyebutkan teknologi untuk pengolahan sampah di Kota Tegal yang rencananya akan dibangun merupakan teknologi Eropa. Teknologi ini belum pernah diplikasikan di Indonesia. Jadi jika pabrik pengolahan sampah ini terwujud, pabrik ini merupakan pabrik pengolahan sampah pertama di Indonesia dengan teknologi yang dikembangkan sejak 2008 lalu. Sehingga bisa dijadikan pilot project bagi daerah lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa pabrik tersebut bukanlah TPA tetapi pabrik pengolahan sampah. Untuk mesin didatangkan langsung dari Jerman dan akan dikirim menggunakan kontainer, sehingga tidak dirakit di Indonesia. Meskipun demikian bangunan pabrik, kontraktor dan komponen lainnya dari lokal.
Untuk mendapatkan energi listrik ada dua tahap proses pengolahan sampah yaitu tahap pertama dilakukan proses 3R ( reuse, reduce, recycle). Kemudian hasil dari proses 3R tersebut menghasilkan biomas untuk diolah menjadi listrik dan uap panas. Uap panas yang dihasilkan dua kali lipat dibandingkan listrki yang dihasilkan.
“Listrik yang dihasilkan akan dijual ke PLN karena PLN yang memiliki distribusi atau industri yang membutuhkan. Apalagi lokasi disekitar pabrik pengolahan sampah adalah kawasan industri,” Untuk mendirikan pabrik pengolahan sampah dengan teknologi Eropa ini, ada 3 komponen yang harus menyertai yaitu pemerintah, pihak swasta dan NGO (Non Goverment Organization) atau LSM yang lebur menjadi sebuah perusahaan pengelola pabrik pengolahan sampah. Menurut Marshal fungsi pemerintah dalam hal ini nantinya Pemkot Tegal mengeluarkan izin supaya proyek bisa dilaksanakan dan pembangunan bisa dilakukan sesuai prosedur. Pihak swasta memberikan investasi yang lebih banyak. Sedangkan LSM menjaga kepentingan masyarakat.
g. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Lindi di TPA Muarareja.
Pengolahan lindi merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan pengelolaan sampah secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Muarareja merupakan satu-satunya TPA bagi warga Kota Tegal yang terletak diantara area tambak yang masih potensial. TPA ini masih menerapkan sistem open dumping dan belum memiliki unit pengolahanair lindi sehingga perlu direncanakan unit pengolah yang dapat menangani air lindi tersebut secara baik dan menghasilkan kualitas lindi yang dapat memenuhi baku mutu sesuai Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 10 Tahun 2004 Tentang Standar Kualitas Badan Air dan Kriteria Baku Mutu Limbah Cair untuk Kegiatan Industri atau Kegiatan Usaha Lainnya. Dari analisa laboratorium parameter-parameter yang melebihi baku mutu adalah TDS (15800 mg/L),Klorida (25264 mg/L), Phospat (22,06 mg/L), Sulfat (3,866 mg/L), Amonia (76,20 mg/L), BOD(684 mg/L), COD (1597 mg/L) dan MBAS (685 mg/L). Proses perencanaan unit pengolahan airlindi TPA Muarareja dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu : 1) Merencanakan pipa air lindidari outlet TPA ke inlet IPAL, 2) Mengidentifikasi kualitas dan kuantitas air lindi, 3) Merencanakan dan menganalisis alternatif unit pengolahan air lindi, 4) Mendesain unitpengolahan air lindi serta menghitung biaya yang dibutuhkan untuk membangun unit pengolahan tersebut. Desain unit pengolahan air lindi tersebut harus mampu mengolah lindi sehingga efluennya memenuhi standar baku mutu tersebut dan diharapkan tidak mencemari lingkungan.
C. PENUTUP
Pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendaur-ulangan atau pembuangan dari material sampah. Pengelolaan sampah lebih mengacu pada material sampah yg dihasilkan dari kegiatan manusia dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat, cair, gas atau radioaktif dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.
Praktek pengelolaan sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara berkembang berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yg tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah.
Kota Tegal merupakan salah satu kota yang menghasilkan sampah dalam jumlah besar, dengan 700m3 perhari atau 1140 ton perhari maka dapat menyebabkan masalah lingkungan apabila tidak ditangani dengan baik. Selama ini TPA di Kelurahan Muarareja Kecamatan tegal Barat masih menerapkan sistem open dumping dan belum memiliki unit pengolahan sampah yang baik sehingga cenderung mencemari lingkungan. Berbagai macam usaha telah dilakukan pemerintah kota dalam rangka mengurangi dampak lingkungan yang terjadi baik secara teknis operasional, kelembagaan, pembiayaan, hukum dan kebijakan serta aspek peran serta masyarakat.
Dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada pengelolaan sampah seperti diatas maka seyogyanya sebagai masyarakat yang merupakan penghasil utama sampah untuk lebih memperhatikan kebersihan lingkungan, mampu mengolah sampah secara individual dengan penimbunan dan pengkomposan, membuang sampah pada tempatnya dan tidak membuangnya ke sungai atau saluran air, melakukan pembiasaan hidup sehat dan bersih dan turut serta mendukung kebijakan pemerintah kota dalam rangka pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Alkadri, et al., 1999, Tiga Pilar Pengembangan Wilayah, Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah-BPPT, Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1991, Standar Nasional Indonesia (SNI) S –04 – 1991 – 03 tentang Spesifikasi Timbulan sampah untuk kota kecil dan kota sedang di Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta
Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1992, Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-2454-1992 tentang Tata cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1994, Standar Nasional Indonesia (SNI),1994, SIN 03-3241-1994, tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1994, Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran ContohTimbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan, Departemen PekerjaanUmum : Jakarta.
Bintarto.R, 1997, Geografi Kota, Pengantar, cetakan pertana, Spring,Yogyakarta.
Departemen Pekerjaan Umum, 2006, Permen PU nomor : 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem PengelolaanPersampahan (KSNP-SPP), Jakarta
Direktorat Bina Program, Diirjen. Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum.,1992/1993, Penyusunan Pedoman Teknis Operasi dan Pemeliharaan Pembangunan Prasarana Perkotaan (Komponen Persampahan).
Faizah, 2008, Pengolahan Sampah Berbasis Masyarakat, Tesis Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang.
Gelbert, M., et. al., 1996, Konsep Pendidikan Lingkungan Hidup dan ”WallChart”, Buku Panduan Pendidikan Lingkungan Hidup, PPPGT/VEDC, Malang.
Hadi, Sudharto P., 2005, Demensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Hartoyo, 1998. Pemanfaatan Pengelolaan Sampah Kota Jawa Timur, Bahan Seminar Nasional Penanganan Sampah Kota, Fakultas Teknik Brawijaya, Malang.
Kementerian Lingkungan Hidup, 1997, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup, 2008, Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Jakarta.
Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2006, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan, Jakarta.
Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2003, Revisi Standar Nasional Indonesia (SNI) 03 – 3242 -1994 tentang Pengelolaan Sampah diPermukiman, Jakarta.
Suwarto, 2006, Model Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah: StudiKasus di Kawasan Perumahan Tlogosari, Kota Semarang, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang.
Syafrudin, CES, Ir. MT, 2004, Model Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (Kajian Awal Untuk Kasus Kota Semarang), Makalah pada Diskusi Interaktif: Pengelolaan Sampah Perkotaan Secara Terpadu, Program Magister Ilmu Lingkungan UNDIP
Tchobanoglous, G., Teisen H., Eliasen, R, 1993, Integrated Solid Waste Manajemen, Mc.Graw Hill : Kogakusha, Ltd.
Tuti Kustiah, 2005, Kajian Kebijakan Pengelolaan Sanitasi Berbasis Masyarakat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.
Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002, Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah, Abadi Tandur, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar