Sabtu, 11 Februari 2012

IMPLEMENTASI HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA

HUKUM DAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA 
SERTA PENEGAKAN HUKUMNYA
Oleh : Irwan Susianto


A.    PENDAHULUAN

Lingkungan yang ada di sekitar kita adalah anugerah Allah SWT yang besar bagi umat manusia. Didalam ajaran agamapun jelas sekali Allah SWT menginginkan umat ciptaannya untuk memberdayakan dan melestarikan lingkungan dengan sebaik-baiknya. Namun, faktanya keinginan Allah SWT tersebut tidak dapat diwujudkan oleh umat manusia, diberbagai tempat sering terjadi pengrusakan dan pencemaran lingkungan termasuk di wilayah lingkungan hidup kita di Indonesia.

Indonesia dengan wilayah negara yang luas tentu memiliki masalah lingkungan yang kompleks dan perlu mendapat perhatian serius. Terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di Indonesia akan membawa dampak terhadap kehidupan rakyat Indonesia bahkan juga rakyat negara tetangga kita. Lihatlah bagaimana Malaysia dan Singapura memprotes pemerintah Indonesia atas asap kebakaran hutan Indonesia yang datang ke wilayah negara tersebut. Jikalau merusak dan mencemari lingkungan berdampak buruk bagi kegidupan umat manusia, mengapa manusia masih merusak dan mencemari lingkungan, terus apa motifnya? Hal ini bisa terjadi karena motivasi manusia merusak dan mencemari lingkungan adalah keuntungan materi. Dengan segala motivasi dan tujuan keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian dan dampaknya. Manusia telah mengeksploitasi lingkungan diluar ambang batas kewajaran yang diperkenankan.

Sampai saat ini sudah banyak kasus pencemaran/pengrusakan lingkungan yang telah dibawa ke dalam proses peradilan, diantaranya pencemaran Teluk Buyat, Lumpur Lapindo di Sidoarjo dan kasus illegal logging yang melibatkan Adelin Lis (Direktur Keuangan PT KNDi) di Sumut. Namun sayangnya, penegakan hukum atas kasus-kasus tersebut belum membuahkan hasil optimal, tidak memberikan pembelajaran dan menghasilkan efek jera yang bisa diharapkan untuk dilakukannya pemulihan dan menghentikan pengrusakan/pencemaran agar tidak terulang lagi.

Bahkan ditengah keadaan yang memprihatinkan tersebut, korporasi yang diduga melakukan pencemaran/pengrusakan lingkungan justru melakukan serangan balik melalui SLAPP Suit (Strategic Lawsuit Against Public Participation), yakni strategi hukum untuk meredam/membungkan masyarakat yang kritis terhadap pencemaran/pengrusakan yang dilakukan korporasi. Beberapa bentuk SLAPP Suit yang dilakukan oleh korporasi diantaranya gugatan PT. Newmont Minahasa Raya terhadap individu dan organisasi lingkungan hidup. Juga perusahaan mediapun tidak luput dari gugatan perusahaan yang dinilai sebagai perusak lingkungan sebagaimana terjadi dalam gugatan PT. Riau Andalan Pulp & Paper terhadap Koran Harian Tempo.

Pepohonan di hutan ditebang tanpa ada upaya menanam kembali, sumber daya mineral digali dan diserap sementara limbah pertambangan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan dengan cara meracuni atau sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran air dan sebagainya. Dengan fakta tersebut, dari sudut pandang hukum, banyak orang bertanya : Indonesia telah memiliki perangkat hukum dalam pengelolaan lingkungan tetapi mengapa hukum tersebut tidak dapat mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan. Apakah hukum lingkungan di Indonesia telah efektif ditegakan ataukah malah sebaliknya tidak efektif dan cenderung hanya menjadi bahan diskusi dalam seminar-seminar lingkungan hidup. Lantas, dimana sebenarnya peran hukum dalam menciptakan keadilan ditengah-tengah masyarakat?. Mengapa kasus-kasus tersebut tidak pernah berhasil menyeret para pelaku perusakan lingkungan kedalam penjara?. Apakah hukum kita yang tidak mampu menjangkaunya ataukah kemauan dari aparat penegak hukum itu sendiri yang tidak ada atau meant SDM nya yang tidak memenuhi.

Oleh karena peliknnya masalah hukum dan kebijakan lingkungan serta penegakannya di Indonesia maka dalam tulisan ini penulis akan menguraikan tentang hukum dan kebijakan lingkungan serta pelaksanaanya di lapangan, mengurai tentang beberapa contoh pelaksanaan hukum dan kebijkan lingkungan yang terabaikan dan beberapa solusi penanganan masalah lingkungan berdasarkan kajian empiris dilapangan.

B.    PEMBAHASAN
1.    Hukum dan Kebijakan Lingkungan Di Indonesia

Sebenarnya permasalahan lingkungan hidup bukan merupakan permasalahan baru, yang baru adalah kesadaran kita bahwa aktivitas manusia yang telah menimbulkan permasalahan lingkungan hidup ini beserta akibat-akibatnya. Bagi negara-negara maju, lingkungan hidup merupakan permasalahan yang sangat serius, karena akibat dari kemajuan perekonomian suatu negara itu sendiri. Tetapi lambat laun, negara-negara berkembang menyadari pula permasalahan lingkungan bukanlah monopoli negara-negara maju. Negara-negara berkembang juga memiliki permasalahan lingkungan hidup tersebut.
Pada tahun 1972, permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian luas dari berbagai bangsa, yaitu sejak dilaksanakannya Konferensi Stockholm. Dikatakan Emil Salim bahwa:”...........pada permulaan tahun tujuh puluhan ini dunia mulai sadar dan cemas akan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sehingga mulai menanggapinya secara sungguh-sungguh sebagai masalah dunia. Dengan adanya Stockholm Declaration ini, perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan kuat, baik pada taraf nasional, regional, bahkan taraf internasional. Keuntungan yang diperoleh adalah dengan tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasan antara para ahli hukum dengan menggunakan Stockholm Declaration ini sebagai referensi bersama. Dalam hal ini Indonesia juga baru memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah lingkungan hidup pada tahun tujuh puluhan, yaitu setelah dilaksanakannya Konferensi Stockholm tersebut. Hal-hal yang menyebabkan mengapa Indonesia merasa wajib menangani masalah-masalah lingkungan hidup adalah : a) Kesadaran bahwa Indonesia sudah menghadapi masalah lingkungan hidup yang cukup serius, b) Keperluan untuk mewariskan kepada generasi mendatang sumbersumberalam yang bisa diolah secara berkelanjutan dalam proses jangkapanjang dan untuk tujuan pembangunan yang sedang giat-giatnya kitalaksanakan pada saat ini, c) Sebab Idiil, Indonesia ingin membangun manusia Indonesia seutuhnya baik materiil maupun sprituil berdasarkan Pancasila yang memuat ciri-ciri keselarasan hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Sebagian besar hukum Indonesia, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun keputusan hakim sebelum abad ke-20, ternyata tidaklah ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara menyeluruh, akan tetapi hanya untuk berbagai aspek yang menjangka uruang lingkup yang sempit. Dengan dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diganti menjadi UU. No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maka merupakan tonggak bagi pengaturan lingkungan hidup yang menyeluruh untuke depannya. 
Sekarang UU No. 23 Tahun 1997 telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-undang ini lebih rinci membahas tentang penanganan masalah pengelolaan lingkungan hidup. Undang-undang ini terdiri dari 17 Bab dan 127 pasal yang merupakan penyempurnaan Undang-undang sebelumnya yang hanya terdiri dari 11 bab dan 51 pasal. Sanksi pidana sebagai upaya dalam penegakan hukum diatur dalam bab XV mulai pasal 97 sampai dengan pasal 115.
2.    Penegakan Hukum dan Kebijakan Lingkungan
Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
  1. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
  2. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
  3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum terutama dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif barulah dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium). Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut. Apabila ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi maka diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi. Apabila upaya yang dilakukan menemui jalan buntu baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup. 
Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan perubahan yang bersifat positif ataupun negatif. Untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup maka perlu diusahakan peningkatan dampak positif dan mengurangi dampak negatif. Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut dengan kewenagan atribusi (Atributive bevoeghdheid), yaitu kewenangan yang melekat pada badan-badan pemerintah yang diperoleh dari Undang-Undang. Sehingga badan-badan pemerintah tersebut dengan demikian memilii kewenangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang memiliki legitimasi (kewenangan bertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena masalah legitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasan dan pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Sanksi administrasi merupakan kewenangan Menteri, Gubernur dan  Pemerintah Kabupaten/Kota.  Hal ini seperti tercantum dalam pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi :

“Menteri, gubernur atau bupati/walikota menerapka sangksi administrasi kepada penanggung jawab usaha dan/ataukegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan”.

Sanksi administrasi yang dimaksud pada ayat 1 tersebut terdiri atas : 1). Teguran tertulis, 2). Paksaan pemerintah, 3), pembekuan izin lingkungan dan 4). Pencabutan izin lingkungan. Lebih lanjut dalam pasal 77 diterangkan bahwa :
“Menteri dapat menerapkan sanksi administrasi terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang serius dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan”.

Selanjutnya dalam bab XV diatur tentang ketentuan pidana bagi para pengusaha/badan usaha/orang yang dengan sengaja melakukan pencemaran dan merusak lingkungan. Namun semua aturan dan ketetntuannay akan sangat tergantung pada pelaksanaan dilapangan. Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk melakukan pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusaha dapat dimintakan pertanggung jawaban jika lalai dalam menjalankan kewajibannya. 
3.    Kendala Penegakan Hukum dan Lingkungan di Indonesia
Usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas. Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah. Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan.
Ke depan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup. Pertama, mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kedua, adanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan seperti diatur dalam Pasal 97-115 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketiga, adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan. Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik. Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama. Di satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya memupuk disiplin lingkungan amat urgen dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.
Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi. Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan. Segenap stakeholders harus mempunyai tekad untuk memelihara lingkungan dari kemerosotan fungsi yang senantiasa mengancam kehidupan masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian, hukum lingkungan mempunyai peran yang sangat urgen dalam membantu mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kendala-kendala dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.    Kendala struktural
Terdapat 2 hal utama yang mengganggu penegakan hukum, yaitu pertama, masih dominannya pemikiran di kalangan penentu kebijaksanaan yang mempertentangkan pembangunan dengan lingkungan. Belum sepenuhnya tercipta clean and good goverment, yang memustahilkan penegakan hukum lingkungan yang efektif. kedua, harmonisasi pembangunan dan lingkungan dalam format paradigma pembangunan berkelanjutan (sustinable development) yang tercermin dalam dokumen-dokumen internasional, kenegaraan, dan pemerintah kita seperti GBHN, Deklarasi Rio, Agenda 21 Global, dan Agenda 21 Nasional, belum dipahami benar oleh mayoritas pengambilan keputusan di tingkat pemerintah pusat maupun daerah.
    2.    Kendala yang ada di masyarakat
    Pengelolaan pengaduan masyarakat di bidang lingkungan, bagaimana pengaduan mayarakat yang membawa informasi tentang terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan pada kenyataannys justru si pelapor/pembawa informadi tersebut yang menjadi korban seperti pengalaman pahit yang menimpa korban pencemaran lingkungan di daerah Tenggunung, Surabaya, yang harus rela membayar hukuman denda Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta), karena telah melaporkan sumurnya tercemar minyak dari pabrik di sebelah rumahnya. Dalam kasus tersebut si pelapor malah dituduh melakukan pelporan palsu  karena setelah diperiksa sumur terebut oleh polisi tidak diketemukan sumur skibst tercemari minyak sehingga perusahaan melakukan gugatan ke pelapor karena telah mencemarkan nama baik perusahaan dengan membuat laporan palsu.
    Kenyataan sesungguhnya adalah bahwa sumur tersebut telah bersih ketika polisi datang karena korban sesuai dengan saran tim teknis KPPLH kepada korban untuk terus menerus mengebor sumurnya selama 1 minggu dan selah itu sumur tersebut terlihat bersih dari minyak barulah polisi datang memeriksa. Realitas ini membuktikan bahwa ketidakberdayaan korban pada akses teknologi lingkungan dan kontrol atas prosedur pelaporan lingkungan telah membuat dirinya menjadi korban berkelanjutan kerapuhan mekanisme penegakan hukum lingkungan itu sendiri.
    3.    Kendala di lapangan
    Dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh petugas yang terkait dengan lingkungan sering menemukan kesulitan-kesulitan yang dihadapi antar lain :
    1. Sulit menangkap pelaku pencemaran karena dalam pembuktianya tidak sesederhana dalam kasus-kasus lain, dimana dalam kasus pencemaran limbah cair (air sungai) merupakan akibat kumulatif dari pembuagan limbah cair yag ada di aliran sungai, maka penerapan azas kausalitas akan memakan waktu, dan biasanya pelaku telah menghilangkan bukti-bukti pencemaran.
    2. Pengambilan sample limbah dari suatu industri tidak mudah, kadangkala petugas harus membawa surat pengantar dari instansi petugas, sehingga perusahaan yang diduga melakukan pencemaran sudah melakukan pembersihan terhadap pencemaran pada saat petugas datang.
    3. Pembuangan limbah cair, kadangkala dibarengi dengan kondisi alam seperti adanya banjir di aliran sungai, pada malam hari, dan membuat aliran pembuangan tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang luar perusahaan.
    4. Pembuangan limbah yang dilakukan secara tersembunyi dan kurangnya tenaga ahli di bidang lingkungan, dimana untuk DKI Jakarta hanya mempunyai 5 orang ahli.
    5. Tertutupnya Area perusahaan dengan pagar tinggi atau bangunan besar dan merupakan area yang tidak mudah dimasuki oleh masyarakat atau petugas sekalipun, sehingga menyulitkan masyarakat ikut mengawasi pencemaran di lingkungan.
    6. Urusan Ekonomi menjadi hal yang utama sehingga lingkungan dinomor duakan oleh para pengusaha.
    7. Tidak semua pimpinan perusahaan sampai tingkat manager atau pemilik mempunyai Visi dalam pengelolaan lingkungan sehingga pengelolaan limbah hanya merupakan pemborosan biaya.
    8. Pemahaman Hakim dalam suatu sengketa lingkungan dimana bila hakim mengetahui bahwa dalam terjadinya pencemaran lingkungan tersebut, belum ada pembinaan dari instansi terkait, maka kasus pencemaran limbah cair dikembalikan. (tidak dapat dilanjutkan)
    9. Hanya limbah B3 saja yang sering atau pernah masuk dalam peradilan, sedangkan kasus limbah cair sering kali diselesaikan dalam jalur sanksi administrasi (penutupan saluran pembuangan, dan selanjutnya).
    4.    Beberapa Solusi Penegakan Hukum dan Kebijakan Lingkungan 
    Sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan seperti kepentingan Negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan rakyat maupun kepentingan lingkungan itu sendiri. Penempatan kepentingan itu selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus konflik kepentingan tersebut. 
    Masalah lingkungan tidak selesai dengan pemberlakuan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih harus diuji dalam pelaksanaannya (uitvoering atau implementation) sebagai bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. 
    Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering kali tanpa memperdulikan masalah lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah. Pepohonan di hutan ditebang tanpa ada upaya menanam kembali, sumber daya mineral digali dan diserap sementara limbah pertambangannya yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan dengan cara meracuni atau sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran air dan sebagainya. Dengan kenyaataan seperti tersebut diatas banyak orang bertanya : Indonesia telah memiliki perangkat hukum, namun kenapa hukum tersebut tidak dapat mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan. Singkatnya, apakah hukum lingkungan di Indonesia telah efektif ditegakan? Bila membicarakan efektivitas hukum lingkungan berarti membicarakan daya kerja hukum lingkungan itu dalam mengatur dan/ atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum lingkungan. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Faktor-faktor tersebut adalah (1) kaidah hukum/ peraturan itu sendiri; (2) petugas/ penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat. Hal itu akan diuraikan secara berturut-turut sebagai berikut :
    1.    Kaidah Hukum
    Sebagai negara hukum, keberadaan kaidah hukum dalam berbagai bentuk peraturan di Indonesia adalah hal yang sudah semestinya ada. Keberlakuan hukum lingkungan di wilayah Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Hukum lingkungan tidak hanya terbentuk pada era Kemerdekaan saja melainkan telah ada sejak zaman Hindia Belanda dan Jepang. Hukum lingkungan yang dibuat oleh para regulator bertujuan agar lingkungan dapat dikelola dengan baik sehingga pemanfaatan dan kelestarian lingkungan dapat diupayakan semaksimal mungkin. Umumnya kaidah hukum lingkungan di Indonesia mencakup 4 (empat) bidang besar, yaitu:
    1. Hukum Penataan Ruang (termasuk pengendalian penggunaan tanah dan sumber-sumber daya lingkungan)
    2. Hukum Konservasi (hayati, non hayati, buatan, termasuk benda cagar budaya)
    3. Hukum Kependudukan (termasuk kebutuhan sumber daya manusia)
    4. Hukum Pencemaran Lingkungan (dalam kaitannya dengan pencegahan dan penanggulangan pencemaran).
    Dengan adanya kaidah hukum tersebut, diharapkan dapat menjadi dasar bagi negara dan masyarakat berpartisipasi secara maksimal dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia.
    2.    Petugas/ Penegak Hukum
    Di Indonesia, keberadaan dan fungsi penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mendapat sorotan yang luas dari masyarakat. Masyarakat banyak menganggap penegak hukum tidak menerapkan hukum sesuai dengan aturannya, tidak transparan, bersifat pilih kasih, dan ini yang lebih parah penegak hukum dianggap sebagai aktor penunjang pengrusakan lingkungan hidup. Berbagai kasus lingkungan yang berdampak besar bagi kerusakan lingkungan diduga ‘dibeking’ oleh aparat penegak hukum. Berbagai contoh kasus tersebut adalah: 

    1. Sering terjadi kasus penambangan liar di suatu wilayah yang dijaga oleh aparat keamanan, padahal patut diduga pertambangan liar tersebut tanpa memiliki ijin Amdal dan ijin pertambangan lainnya yang terkait.
    2. Pelaku “illegal logging’ yang kerap mendapat perlakuan istimewa dari aparat hukum, sampai-sampai aparat hukum membantu mencari cara bagaimana pelaku illegal logging tersebut dapat dihukum seringan-ringannya atau bahkan bebas dari jerat hukum. Hal ini dapat menjadi preseden buruk penegakan hukum lingkungan di Indonesia, padahal adanya ketentuan pidana yang diberlakukan diharapkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku pengrusakan lingkungan. Dengan hukuman yang ringan mustahil pelaku illegal logging atau pelaku perusak lingkungan lainnya merasakan jera atas perbuatannya.
    3. Kasus-kasus pengrusakan lingkungan ditangani oleh aparat secara tidak profesional dan tidak proporsional, misalnya kasus Lapindo yang menurut penulis lebih menitikberatkan pada sisi keperdartaannya saja yaitu adanya ganti rugi kepada pemilik lahan yang terkena lumpur panas, namun sisi hukum lainnya yang juga penting diabaikan misalnya sampai saat ini hukum pidana lingkungan yang harus diterapkan tidak dilaksanakan secara maksimal. Memang ada juga prestasi dari penegak hukum dalam lingkungan hidup yang patut mendapat pujian dari masyarakat, namun hal tersebut tidak sebanding dengan perlakuan penegak hukum yang tidak menegakan hukum lingkungan secara benar dan konsekuen. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikan pula sebaliknya, apabila peraturannya buruk, sedangkan kualitas petugasnya baik, mungkin pula timbul masalah-masalah.
    3.    Sarana/ Fasilitas
    Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik, bagiamana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat mengejar pelaku pengrusakan dan pencemaran lingkungan apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan pengejaran yang canggih dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses tetapi justru mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya, ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan pada: (1) apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.
    4.    Warga Masyarakat
    Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang dimaksud di sini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut :
    1. Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan ‘larangan merokok pada tempat umum’ adalah tinggi maka peraturan ‘larangan merokok pada tempat umum” dimaksud, pasti akan berfungsi sehingga polusi udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat dapat dikurangi. Jikalau aturan ini ditaati secara tinggi maka tidak akan ada orang merokok di ‘non-smoking area’ melainkan di ‘smoking area’ (fasilitas perokok disediakan).
    2. Apabila derajat kepatuhan rendah maka peraturan perihal larangan membuang sampah sembarangan yang disertai ancaman sanksi denda uang maupun hukuman kurungan, tidak akan berlaku secara efektif. Akibatnya lingkungan menjadi kotor, semrawut bahkan pada musim hujan menumpuknya sampah tidak pada tempatnya akan menimbulkan bencana banjir.
    Upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : Pertama, meningkatkan program sosialisasi dari tingkat pusat sampai ke desa-desa, khususnya berkaitan dengan hak dan kewajiban serta berbagai permasalahan riil yang dihadapi oleh masyarakat, seperti prosedur AMDAL, perizinan dan dampak positif dan negatif apabila prosedur tersebut tidak dilakukan. Kedua, meningkatkan kesadaran hukum (mental) semua pihak. Ke, menindak tegas oknum pemerintah/aparat yang menyalahgunakan wewenangnya dan menindak tegas pelaku perusakan/pencemaran lingkungan tanpa tebang pilih sehingga masyarakat percaya dengan upaya penegakan hukum lingkungan. Keempat, memangkas proses birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Kelima, semakin meningkatkan kualitas dalam pemberian penghargaan dibidang lingkungan, khususnya kriteria penilaian dengan memasukkan kriteria pembangunan berwawasan lingkungan, baik ditingkat nasional maupun di daerah-daerah. Keenam, menghindari penggunaan sarana hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan yang masih dapat menggunakan sarana hukum lain yang lebih efektif. Contohnya Perda tentang pembuangan sampah disembarang tempat dengan sanksi pidana kurungan dan denda yang tinggi yang ternyata tidak efektif. Tumbuhnya kesadaran hukum lingkungan diharapkan dapat mendukung terwujudnya slogan "Pembangunan Berwawasan Lingkungan" menjadi kenyataan dan tidak hanya sekedar menjadikannya sebagai visi dan misi pembangunan saja.
    C.    PENUTUP
    Masyarakat Indonesia dalam kenyataannya lebih akrab dengan lingkungan alamnya daripada penerapan teknologi. Perkembangan teknologi yang mengelola sumber daya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya sehingga tetap bermanfaat bagi generasi-generasi mendatang. Dengan memperhatikan kualitas lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi sebagai komoditi masyarakat setempat yang tersubsistem. Hanya tindakan manusia yang membuat seolah-olah mampu menguasai alam sehingga hampir semua lingkungan hidup sudah tersentuh oleh kehidupan manusia. 

    Penegakkan hukum lingkungan dapat dilakukan dengan pemberian sanksi yang berupa sanksi administrasi. Sanksi administrasi, penyelesaian masalah lingkungan diluar pengadilan bahkan sanksi pidana telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 terhadap penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan /atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang. 
    Beberapa hal yang perlu dicermati oleh pemerintrah sebagai bahan refleksi adalah sebagai berikut : pertama, kita telah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan telah diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai Umbrella Act (payung huum) bagi peraturan yang lain yang juga mengatur mengenai lingkungan yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat sebagai pemilik tanah dan air. Namun masalah utama pengelolaan lingkungan hidup tidak pernah ada usaha yang sungguh-sungguh untuk peduli masalah lingkungan. Kedua, perlindungan lingkungan masih minoritas ketimbang semangat mengeksploitasi. Ini dapat dilihat dari perangkat lingkungan tentang sumberdaya alam, yang diterbitkan sekedar untuk mengatur eksploitasi daripada konservasi.

    DAFTAR PUSTAKA
    Azhar, 2003. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Palembang, Universitas Sriwijaya.

    Ayu, KRH I Gusti. 2005. Upaya Penegakan Hukum Lingkungan. Harian Solopos, 5 Juni 2005.

    Boehmer-Cristiansen S. 1994. Policy and Environmental Management. Journal of Environmental Planning and Management. 37 (1).

    Eggi Sudjana Riyanto, 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektig Etika Bisnis di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

    Hadjon, Philipus. 1998. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta, UGM Press.

    Kartawinata. 1990. Bentuk-bentuk Eksploitasi Sumber daya ALam. Laporan Peneloitian BPTP-DAS Surakarta.

    Nabil Makarim, 2003. Sambutan Dalam Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.

    Siti Sundari Rangkuti, 2003. Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.

    Kementrian Lingkungan Hidup RI, HImpunan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2002

    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Kamis, 09 Februari 2012

    IMPLEMENTASI HUKUM LINGKUNGAN DI KOTA TEGAL

    PENGOLAHAN SAMPAH DI KOTA TEGAL
    IMPLEMENTASI PERDA NO. 6 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGARAAN KEBERSIHAN KOTA DAN PENGUMPULAN SERTA PEMBUANGAN SAMPAH/KOTORAN
    DI KOTA TEGAL
    OLEH : IRWAN SUSIANTO

    A.    PENDAHULUAN

    Persampahan merupakan isu penting dalam masalah lingkungan perkotaan yang dihadapi sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas pembangunan. Peningkatan volume sampah berkembang secara eksponensial yang belum dibarengi dengan peningkatan pendapatan Pemerintah Daerah yang sepadan untuk pengelolaan sampah kota (Puslitbang Permukiman, Bandung, 2000). Hal lain berkaitan dengan semakin sulit dan mahalnya untuk mendapatkan lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah juga letaknya yang semakin jauh telah memperpanjang transportasi dan meningkatkan biaya pengangkutannya. Sampah padat, salah satu jenis sampah merupakan material yang terus menerus meningkat dan dibuang oleh masyarakat. Sampah adalah segala bentuk limbah yang ditimbulkan dari kegiatan manusia maupun binatang yang biasanya berbentuk padat dan secara umum sudah dibuang, tidak bermanfaat atau tidak dibutuhkan lagi (Theisen, 1997:45).

    Timbulan sampah padat tidak dapat dihentikan akan tetapi harus dikelola, dikurangi atau diminimalisasi secara baik. Pembiayaan dalam pengelolaan sampah harus secara efektif dikelola oleh Pemerintah Daerah. Karena pada umumnya, pengelolaan sampah memerlukan anggaran/biaya yang besar  terutama untuk biaya teknik operasional dari pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan sampai di tempat pembuangan akhir. Pada kota-kota besar dan sedang di Indonesia, kemampuan PEMDA dalam menangani sampah masih terbatas. Secara nasional, sampai tahun 2000, tingkat pelayanan baru mencapai 40 % dari volume sampah yang dihasilkan. Sampah yang tidak terkelola dengan baik merupakan salah satu penyebab makin meningkatnya pencemaran air, tanah dan udara serta meningkatkan potensi banjir di perkotaan. Permasalahan persampahan perlu ditangani secara serius dengan teknis, operasional dan manajemen yang tepat dan terpadu berdasarkan kondisi dan kebijakan daerah masing-masing (Puslitbang Permukiman, Bandung, 2000). 

    Pengelolaan sampah sementara ini dipandang hanya sebagai tanggungjawab pemerintah semata. Masyarakat lebih berperan hanya sebagai pihak yang dilayani  karena mereka merasa sudah cukup hanya dengan membayar uang retribusi sampah sehingga penanganan selanjutnya adalah menjadi tanggungjawab pemerintah. Padahal saat ini sudah ada sistem yang lebih baik dan efisien dan dianggap modern yaitu konsep zero waste, dengan menerapkan pengelolaan sampah secara terpadu, mengurangi volume sampah dari sumbernya dengan cara daur ulang dan pengkomposan.

    Untuk mencapai kondisi masyarakat yang hidup sehat dan sejahtera di masa yang akan datang, akan sangat diperlukan adanya lingkungan permukiman yang sehat. Dari aspek persampahan maka kata sehat akan berarti sebagai kondisi yang akan dapat dicapai bila sampah dapat dikelola secara baik sehingga bersih dari lingkungan permukiman dimana manusia beraktifitas di dalamnya (Permen PU nomor : 21/PRT/M/2006). Secara umum, menurut Peraturan Menteri PU nomor : 21/PRT/M/2006, daerah yang mendapatkan pelayanan persampahan yang baik dapat ditunjukkan dengan kondisi sebagai berikut :
    1. Seluruh masyarakat memiliki akses untuk penanganan sampah yang dihasilkan dari aktifitas sehari-hari, baik di lingkungan perumahan, perdagangan, perkantoran, maupun tempat-tempat umum lainnya.
    2. Masyarakat memiliki lingkungan permukiman yang bersih karena sampah yang dihasilkan dapat ditangani secara benar.
    3. Masyarakat mampu memelihara kesehatannya karena tidak terdapat sampah yang berpotensi menjadi bahan penularan penyakit seperti diare, tipus, disentri dan lain-lain serta gangguan lingkungan baik berupa pencemaran udara, air atau tanah.
    4. Masyarakat dan dunia usaha/swasta memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah sehingga memperoleh manfaat bagi kesejahteraannya.
    Persoalan lingkungan yang selalu menjadi isu besar di hampir seluruh wilayah perkotaan adalah masalah sampah (Febrianie dalam Kompas 10 Januari 2004). Arif Rahmanullah dalam Kompas, 13 Agustus 2003 mengatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di kota dimungkinkan menjadi daya tarik luar biasa bagi penduduk untuk hijrah ke kota (urbanisasi). Akibatnya jumlah penduduk semakin membengkak, konsumsi masyarakat perkotaan melonjak, yang pada akhirnya akan mengakibatkan jumlah sampah juga meningkat. Pertambahan jumlah sampah yang tidak diimbangi dengan pengelolaan yang ramah lingkungan akan menyebabkan terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan (Tuti Kustiah, 2005 : 1). 

    Saat ini hampir seluruh pengelolaan sampah berakhir di TPA sehingga menyebabkan beban TPA menjadi sangat berat, selain diperlukan lahan yang cukup luas juga diperlukan fasilitas perlindungan lingkungan yang sangat mahal. Semakin banyaknya jumlah sampah yang dibuang ke TPA salah satunya disebabkan belum dilakukannya upaya pengurangan volume sampah secara sungguh-sunguh sejak dari sumber (Tuti Kustiah : 2005:3).

    Pertumbuhan volume sampah di Kota Tegal berdasarkan data tercatat 700 m3 per hari. Nur Effendi dalam Koran Lokal.com tanggal 30 Juni 2011 mengatakan bahwa produksi sampah di kota Tegal yang mencapai 700 m3 perhari akan diolah untuk memenuhi kebutuhan pabrik guna menghasilkan listrik. Di Kota Tegal ternyata rata-rata pertumbuhan jumlah sampah jauh melebihi pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini menjadi alasan kuat bahwa masalah sampah merupakan masalah utama yang harus dipecahkan baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Selain masalah volume sampah yang terus meningkat, Pemerintah Kota Tegal saat ini juga menghadapi berbagai persoalan terkait penanganan sampah berupa keterbatasan biaya operasional dan sarana prasarana pengelolaanya. Menurut Abdullah Sungkar dalam Pantura News tanggal 24 Maret 2011 mengatakan bahwa sampah yang diproduksi masyarakat kota Tegal mencapai 1140 ton perhari, dari jumah tersebut 57% bisa terangkut dan sisanya masih berada dilingkungan masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa kendala utama yang dihadapi pemerintah kota dalam menangani sampah adalah kurangnya sarana dan prasarana pengangkut sampah.

    Masalah infrastruktur juga menjadi kendala dalam pengelolaan sampah di kota Tegal. Sebagai contoh, Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Di Muarareja sebagai tempat pembuangan sampah Kota Tegal akan segera berakhir masa pakainya pada tahun 2011. Sementara itu sampai saat ini belum ditemukan lokasi TPA pengganti yang memenuhi syarat. Namun demikian permasalahan pengelolaan sampah tetap menjadi prioritas dalam pembangunan kota Tegal. Menurut Walikota Tegal Ikmal Jaya dalam Suara Merdeka tanggal 14 April 2009 menyatakan bahwa akan menangani masalah sampah. Apalagi dari hasil penilaian Bangun Praja (Adipura) yang dilakukan November 2008, Kota Tegal hanya mendapat nilai 62,4 dan berada pada urutan 32 dari 35 Kabupaten/Kota di Jateng. Lebih lanjut dikatakan bahwa Pemerintah akan konsen untuk meningkatkan masalah kebersihan dan penghijauan di Kota Tegal. Dengan demikian diharapkan pada tahun mendatang nilai yang diperoleh akan meningkat. 

    Oleh karena peliknya masalah penanganan sampah dikota-kota termasuk di kota Tegal maka dalam makalah ini akan kami paparkan hal-hal yang berkaitan dengan sampah mulai dari teknik-teknik pengolahan sampah, permasalahan sampah dan upaya-upaya mengatasi permasaahan sampah terutama pengelolaan sampah di kota Tegal sebagai implementasi dari perda N0. 6 tahun 1995 dan Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).

    B.    PEMBAHASAN
    Kota yang selalu berkembang dari tahun ke tahun dan dengan segala aktivitas penduduknya memerlukan pelayanan dari pemerintah kota sebagai pengelola pembangunan kota. Seiring dengan kondisi ruang dari waktu ke waktu akan mengakibatkan tuntutan pemenuhan kebutuhan penduduk akan sarana dan prasarana semakin meningkat termasuk dalam hal persampahan. Apabila berbicara tentang tata ruang kota maka  berbicara tentatidak akan lepas dari alokasi  materi didalam ruang sehingga akan menyangkut besaran apa dan dimana. Setiap besaran didalam ruang tersebut apa dan dimana selalu bergerak dari penduduk (jumlah penduduk) dan standar tingkat kesejahteraannya. 

    Pemerintah Daerah pada umumnya memiliki garis kebijakan dasar dalam hal pengelolaan ruang kota yang tertuang didalam Rencana Tata Ruang Kota setempat dengan berbagai tingkatan wilayah dan kandungan materi yang menyertainya. Tata Ruang Kota adalah sebuah sistem besar di dalam kota, dimana didalamnya terdiri dari beberapa subsistem penyusunnya, yaitu : subsistem perumahan, pendidikan, kesehatan, keagamaan, pelayanan umum (perkantoran),perdagangan, perindustrian, listrik, air bersih, telepon, persampahan, jaringan transportasi kota, drainase kota, pariwisata, kelembagaan, dan pembiayaan.Idealnya tiap subsistem diatas memiliki arahan kebijakan tersendiri (kebijakan sektoral) yang saling terpadu dan terintegrasi dalam hal alokasi besarannya didalam ruang sesuai dengan kebutuhan penduduk kota. Wujud keterpaduan tersebut idealnya akan tertuang di dalam Rencana Tata Ruang Kota (RTRK). 

    Kota dengan daya tarik yang dimilikinya dan agar mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya maka harus memiliki penghuni yang aktif, kreatif, bertanggungjawab dan memiliki sumber modal (Bintarto, 1997:51). Perkembangan kota yang cepat membawa dampak pada masalah lingkungan. Perilaku manusia terhadap lingkungan akan menentukan wajah kota, sebaliknya lingkungan juga akan mempengaruhi perilaku manusia. Lingkungan yang bersih akan meningkatkan kualitas hidup (Alkadri et al, 1999 : 159).

    Perkembangan kota akan diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk, yang juga akan berakibat pada masalah-masalah sosial dan lingkungan. Salah satu masalah lingkungan yang muncul adalah masalah persampahan. Permasalahan lingkungan yang terjadi akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan (Alkadri et al, 1999 : 163). Sampah akan menjadi beban bumi, artinya ada resiko-resiko yang akan ditimbulkannya (Hadi, 2000 : 40). Ketidakpedulian terhadap permasalahan pengelolaan sampah berakibat terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang tidak memberikan kenyamanan untuk hidup sehingga akan menurunkan kualitas kesehatan masyarakat. Degradasi tersebut lebih terpicu oleh pola perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan seperti membuang sampah di badan air sehingga sampah akan menumpuk di saluran air yang ada dan menimbulkan berbagai masalah turunan lainnya. Kondisi ini sering terjadi di wilayah-wilayah padat penduduk di perkotaan.

    1.    SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH
    Pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan,  pendaur-ulangan atau pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yg dihasilkan dari kegiatan manusia dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat, cair, gas atau radioaktif dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.

    Praktek pengelolaan sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara berkembang , berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan, berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yg tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah. Metode pengelolaan sampah berbeda beda tergantung banyak hal diantaranya tipe zat sampah , tanah yg digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area.

    Sistem pengelolaan sampah adalah proses pengelolaan sampah yang meliputi 5 (lima) aspek  yang saling mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan (Dept. Pekerjaan Umum, SNI 19-2454-2002). Kelima aspek tersebut meliputi: aspek teknis operasional, aspek organisasi dan manajemen, aspek hukum dan peraturan, aspek pembiayaan, aspek peran serta masyarakat. Kelima aspek tersebut di atas ditunjukkan pada gambar berikut ini. Dari gambar tersebut terlihat bahwa dalam sistem pengelolaan sampah antara aspek teknis operasional, organisasi, hukum, pembiayaan dan peran serta masyarakat saling terkait tidak dapat berdiri sendiri.

    a.    ASPEK TEKNIK OPERASIONAL
    Aspek Teknis Operasional merupakan komponen yang paling dekat dengan obyek persampahan. Menurut Hartoyo (1998:6), perencanaan sistem persampahan memerlukan suatu pola standar spesifikasi sebagai landasan yangjelas. Spesifikasi yang digunakan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor19-2454-2002 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukikman. Teknik operasional pengelolaan sampah bersifat integral dan terpadu secara berantaidengan urutan yang berkesinambungan yaitu : penampungan/pewadahan, pengumpulan, pemindahan, peng-angkutan, pembuangan/pengolahan.
    1).  Penampungan Sampah
    Proses awal dalam penanganan sampah terkait langsung dengan sumber sampah adalah penampungan. Penampungan sampah adalah suatu cara penampungan sampah sebelum dikumpulkan, dipindahkan, diangkut dan dibuangke TPA. Tujuannya adalah menghindari agar sampah tidak berserakan sehingga tidak menggangu lingkungan. Faktor yang paling mempengaruhi efektifitas tingkat pelayanan adalah kapasitas peralatan, pola penampungan,  jenis dan sifat bahan dan lokasi penempatan (SNI 19-2454-2002)

    2).  Pengumpulan Sampah
    Pengumpulan sampah adalah cara proses pengambilan sampah mulai daritempat penampungan sampah sampai ke tempat pembuangan sementara. Polapengumpulan sampah pada dasarnya dikempokkan dalam 2 (dua) yaitu pola individual dan pola komunal (SNI 19-2454-2002) sebagai berikut :
    a)     Pola Individual
    Proses pengumpulan sampah dimulai dari sumber sampah kemudian diangkut ke tempat pembuangan sementara/ TPS sebelum dibuang ke TPA.
    b)     Pola Komunal
    Pengumpulan sampah dilakukan oleh penghasil sampah ke tempat penampungan sampah komunal yang telah disediakan / ke truk sampah yang menangani titik pengumpulan kemudian diangkut ke TPA tanpa proses pemindahan.
    3).  Pemindahan Sampah
    Proses pemindahan sampah adalah memindahkan sampah hasil pengumpulan ke dalam alat pengangkutan untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir. Tempat yang digunakan untuk pemindahan sampah adalah depo pemindahan sampah yang dilengkapi dengan container pengangkut dan atau ramdan atau kantor, bengkel (SNI 19-2454-2002). Pemindahan sampah yang telah terpilah dari sumbernya diusahakan jangan sampai sampah tersebut bercampur kembali (Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002 : 29).
    4).   Pengangkutan sampah
    Pengangkutan adalah kegiatan pengangkutan sampah yang telah dikumpulkan di tempat penampungan sementara atau dari tempat sumber sampahke tempat pembuangan akhir. Berhasil tidaknya penanganan sampah juga tergantung pada sistem pengangkutan yang diterapkan. Pengangkutan sampah yang ideal adalah dengan truck container tertentu yang dilengkapi alat pengepres sehingga sampah dapat dipadatkan 2-4 kali lipat  (Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002:29). Tujuan pengangkutan sampah adalah menjauhkan sampah dari perkotaan ketempat pembuangan akhir yang biasanya jauh dari kawasan perkotaan dan permukiman.
    5).  Pembuangan akhir sampah
    Pembuangan akhir merupakan tempat yang disediakan untuk membuang sampah dari semua hasil pengangkutan sampah untuk diolah lebih lanjut. Prinsip pembuang akhir sampah adalah memusnahkan sampah domestik di suatu lokasi pembuangan akhir. Jadi tempat pembuangan akhir merupakan tempat pengolahan sampah. Menurut SNI 19-2454-2002 tentang Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, secara umum teknologi pengolahan sampah dibedakan menjadi 3 metode yaitu :
    1. Metode Open Dumping, Merupakan sistem pengolahan sampah dengan hanya membuang/menimbun sampah disuatu tempat tanpa ada perlakukan khusus/pengolahan sehingga sistem ini sering menimbulkan gangguan pencemaran lingkungan.
    2. Metode Controlled Landfill (Penimbunan terkendali), Controlled Landfill adalah sistem open dumping yang diperbaiki yang merupakan sistem pengalihan open dumping dan sanitary land fill yaitu dengan penutupan sampah dengan lapisan tanah dilakukan setelah TPA penuh yang dipadatkan atau setelah mencapai periode tertentu.
    3. Metode Sanitary landfill (Lahan Urug Saniter), Sistem pembuangan akhir sampah yang dilakukan dengan cara sampah ditimbun dan dipadatkan kemudian ditutup dengan tanah sebagai lapisan penutup. Pekerjaan pelapisan tanah penutup dilakukan setiap hari pada akhir jam operasi.
    b.    ASPEK KELEMBAGAAN
    Organisasi dan manajemen mempunyai peran pokok dalammenggerakkan, mengaktifkan dan mengarahkan sistem pengelolaan sampah dengan ruang lingkup bentuk institusi, pola organisasi personalia serta manajemen. Institusi dalam sistem pengelolaan sampah memegang peranan yangsangat penting meliputi : struktur organisasi, fungsi, tanggung jawab dan wewenang serta koordinasi baik vertikal maupun horizontal dari badan pengelola (Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002 : 29). Jumlah personil pengelola persampahan harus cukup memadai sesuai dengan lingkup tugasnya. Untuk sistem pengumpulan jumlah personil minimal 1orang per 1.000 penduduk yang dilayani sedangkan sistem pengangkutan, sistempembuangan akhir dan staf minimal 1 orang per 1.000 penduduk (SNI 19-2454-2002).


    c.    ASPEK PEMBIAYAAN
    Aspek pembiayaan berfungsi untuk membiayai operasional pengelolaan sampah yang dimulai dari sumber sampah/penyapuan, pengumpulan, transfer dan pengangkutan, pengolahan dan pembuangan ahkir. Selama ini dalam pengelolaan sampah perkotaan memerlukan subsidi yang cukup besar kemudian diharapkan sistem pengelolaan sampah ini dapat memenuhi kebutuhan dana sendiri dari retribusi (Dit.Jend. Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Dep.Kimpraswil, 2003). Menurut SNI–T-12-1991-03 tentang Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, biaya pengelolaan sampah dihitung berdasarkan biaya operasional dan pemeliharaan serta pergantian peralatan. Perbandingan biaya pengelolaan dari biaya total pengelolaan sampah sebagai berikut :
    - biaya pengumpulan 20 % - 40 %
    - biaya pengangkutan 40 % - 60 %
    - biaya pembuangan akhir 10% - 30 %
    Biaya pengelolaan persampahan diusahakan diperoleh dari masyarakat (80%) dan Pemerintah Daerah (20%) yang digunakan untuk pelayanan umum antara lain :  penyapuan jalan, pembersihan saluran dan tempat-tempat umum. Sedangkan dana pengelolaan persampahan suatu kota besarnya disyaratkan minimal ± 10 % dari APBD. Besarnya retribusi sampah didasarkan pada biaya operasional pengelolaan sampah (Dit. Jendral Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Dep.Kimpraswil, 2003). Di Indonesia besar retribusi yang dapat ditarik dari masyarakat setiap rumah tangga besarnya ± 0,5 % dan maksimum 1 % dari penghasilan per rumah tangga per bulan (Dit. Jendral Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Dep.Kimpraswil, 2003).
    Pembiayaan pengelolaan sampah di kota Tegal telah diatur dalam Perda No. 6 tahun 1995 Tentang Penyelenggaran Kebersihan dan Pembuangan Sampah-sampah/kotoran di Kota Tegal.

    d.    ASPEK PERATURAN/ HUKUM
    Menurut Hartoyo (1998 : 8) prinsip aspek peraturan pengelolaan persampahan berupa peraturan-peraturan daerah yang merupakan dasar hukum pengelolaan persampahan meliputi hal-hal sebagai berikut :
    - Perda yang dikaitkan dengan ketentuan umum pengelolaan kebersihan.
    - Perda mengenai bentuk institusi formal pengelolaan kebersihan.
    - Perda yang khusus menentukan struktur tarif dan tarif dasar pengelolaan Kebersihan. Peraturan-peraturan tersebut melibatkan wewenang dan tanggung jawab pengelola kebersihan serta partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan dan pembayaran retribusi.

    e.  ASPEK PERAN SERTA MASYARAKAT
    Peran serta masyarakat sangat mendukung program pengelolaan sampah suatu wilayah. Peran serta masyarakat dalam bidang persampahan adalah proses dimana orang sebagai konsumen sekaligus produsen pelayanan persampahan dan sebagai warga mempengaruhi kualitas dan kelancaran prasarana yang tersedia untuk mereka. Peran serta masyarakat penting karena peran serta merupakan alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,  kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, masyarakat lebih mempercayai proyek/program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan (LP3B Buleleng-CleanUp Bali, 2003).
    Bentuk peran serta masyarakat dalam penanganan atau pembuangan sampah antara lain : pengetahuan tentang sampah/kebersihan, rutinitas pembayaran retribusi sampah, adanya iuran sampah RT/RW/Kelurahan.

    2.    DAMPAK NEGATIF SAMPAH
    Menurut Gelbert dkk (1996:46-48), jika sampah tidak dikelola denganbaik akan menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan, yaitu :
    a.    Dampak Terhadap Kesehatan
    Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalatdan anjing yang dapat menjangkitkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut (Gelbert dkk 1996 : 46-48) :
    1. Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum.
    2. Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
    3. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnnya masuk ke dalam pencernakan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan/sampah.
    4. Sampah beracun : Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi baterai dan akumulator.
    b.    Dampak Terhadap Lingkungan
    Cairan rembesan sampah (lindi) yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis (Gelbert dkk., 1996). Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak (Gelbert dkk., 1996).

    c.    Dampak Terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi
    Dampak-dampak tersebut menurut Gelbert dkk, 1996 adalah sebagai berikut:
    1. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yangkurang menyenangkan bagi masyarakat: bau yang tidak sedap danpemandangan yang buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.
    2. Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan.
    3. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas).
    4. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akanmemberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan,drainase, dan lain-lain.
    5. Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidakmemadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengelolaan air.
    3.    PERMASALAHAN PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA TEGAL
    Ada beberapa masalah yang dihadapi Pemerintah Kota Tegal dalam pengelolaan sampah antara lain :
    1. Volume sampah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk Kota Tegal. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nur Effendi dalam Koran Local.com tanggal 30 Juni 2011 bahwa Pertumbuhan volume sampah di Kota Tegal berdasarkan data tercatat 700 m3 per hari. Menurut Abdullah Sungkar dalam Pantura News tanggal 5 Desember 2011 mengatakan bahwa sampah yang diproduksi masyarakat kota Tegal mencapai 1140 ton perhari, dari jumah tersebut 57% bisa terangkut dan sisanya masih berada dilingkungan masyarakat.
    2. Biaya operasional pengelolaan sampah yang semakin meningkat. Sementara pendapatan dalam bentuk retribusi masih sangat kecil dan tidak sebanding dengan besaran anggaran yang digunakan untuk pengelolaan sampah. Bagi Pemerintah Kota Tegal peningkatan biaya ini seiring dengan peningkatan volume sampah yang dihasilkan masyarakat. Untuk masalah retribusi telah diatur dalam Perda No. 6 Tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Kebersihan Kota dan Pembuangan Sampah-sampah/kotoran.
    3. Usia teknis TPSA Muarareja yang akan berakhir pada tahun 2011. Sistem pengelolaan sampah Kota Tegal  berakhir di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA), yang berlokasi di Desa Muarareja. TPSA ini akan habis usia teknisnya pada tahun 2011. Hal ini akan menjadi masalah besar karena Kota Tegal tidak memiliki lahan untuk digunakan sebagai TPSA.
    4. Sarana dan prasarana yang kurang memadai. Kota Tegal hanya memiliki 10 unit drum truk dan 4 unit amrol. Sebagaimana yang disampaikan oleh Abdullah Sungkar dalam Pantura News.com tanggal 5 Desember 2011 kendala utama yang dihadapi Pemkot Tegal dalam menangani sampah adalah masih kurangnya sarana dan prasarana pengangkut sampah yang  hanya memiliki 10 dump truk dan 4 unit amrol.
    5. Belum adanya kebijakan khusus atau peraturan khusus atau peraturan daerah tentang pengolahan sampah. Selama ini peraturan mengenai sampah hanya tentang retribusi yang diatur dalam Perda No. 6 tahun 1996 tentang penyelenggaraan kebersihan kota dan pembuangan sampah-sampah/kotoran. Hal ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Walikota Tegal Ikmal Jaya dalam pantura News.com tanggal 5 Desember 2011 bahwa sekalipun Perda tentang sampah belum dibuat, namun selama ini Pemkot Tegal sudah berupaya keras mensosialisasikan dan bertindak langsung melakukan kebersihan lingkungan dari tingkat RT sampai SKPD. Kami juga akan melakukan penataan PKL secepatnya. Kami juga berharap partisipasi warga untuk tetap menjaga kebersihan agar piala Adipura bisa kembali diraih.
    6. Partisipasi masyarakat yang masih rendah. Parisipasi masyarakat masih rendah, terutama dalam sub sistem teknis operasional. Masih sedikit masyarakat yang mau mengelola sampahnya ditingkat sumber (rumah tangga).
    7. Belum memiliki teknik pengolahan sampah. Selama ini masih menggunakan teknik open dumping yang merupakan sistem pengolahan sampah dengan hanya membuang/menimbun sampah disuatu tempat  tanpa ada perlakukan khusus/pengolahan sehingga sistem ini sering menimbulkan gangguan pencemaran lingkungan.
    4.    BERBAGAI SOLUSI PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA TEGAL
    1. Memasukkan upaya pengelolaan sampah dan kebersihan kota pada Raperda RTRW Tahun 2011-2030 seperti yang tertuang pada pasal 32 dan pasal 35.
    2. Memperbaiki sistem pengolahan limbah Tinja (IPLT) dan Instalasi pengolahan Air Limbah (IPAL) yang berada di Kelurahan Muarareja Kecamatan Tegal Barat.
    3. Pengembangan Tempat Pemerosesan Akhir (TPA) sampah regional di  Kecamatan Songgom Kabupaten Brebes atau Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal.
    4. Pembangunan Tempat Pemrosesan Sementara (TPS) sampah di setiap Kelurahan.
    5. Pembangunan Tempat Pembuangan Akhir Sampah, Solusi yang akan dilakukan untuk pertama kali adalah pembuatan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan menjadi skala prioritas dalam kebijakan pembangunan pemerintah kota Tegal tahun 2012. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Ketua DPRD Kota Tegal H. Edi Suripno bahwa pembuatan TPA menjadi skala prioritas karena ditahun 2011 TPA yang selama ini menempati lahan miliki penduduk di wilayah Kelurahan Muarareja seluas 5 Ha akan habis masa kontraknya. Lokasi perencanaan pembuatan TPA sampah yang baru terletak di lahan milik warga yang berada di blok Bokong Semar Kelurahan Kaligangsa , Kecamatan Margadana, Kota Tegal. Saat ini bahkan telah dibuatkan Detail Enginering Design (DED) yang memakan anggaran sampai Rp 850 juta. Akan tetapi, rencana tersebut belum teraliasasi dikarenakan belum tersedianya jalan yang akan digunakan sebagai akses keluar masuk ke lokasi TPA sampah Bokong Semar. Untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah kota telah melakukan kaji ulang dan penganggaran kembali dana untuk pembebasan lahan milik penduduk di blok Bokong Semar.
    6. Pembangunan dan pengelolaan pabrik pengolahan sampah yang direncanakan akan dibangun di Bokong Semar Kelurahan Kaligangsa Kecamatan Margadana Kota Tegal Jawa Tengah.
    Pemerintah Kota Tegal telah menjalin kerjasama dengan negara Belanda mengenai pengelolaan dan pengelolaan sampah. Bahkan tim verifikasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) telah datang ke Kota Tegal. Kepala Dinas Pemukiman dan Tata Ruang (Diskimtaru) Kota Tegal Ir. Nur Effendi dalam koran lokal.com tanggal 30 Juni 2011 mengatakan bahwa Pemkot Tegal berencana menjalin kerjasama pengelolaan dan pengelohaan sampah dengan negara asing yakni Belanda. Untuk memastikannya perwakilan negara Belanda yakni PT. ADM ENTEX telah datang ke Kota Tegal pada akhir bulan Juni 2011. Lebih lajut dikatakan bahwa sampah yang nanti diolah adalah sampah jenis organik karena sampah jenis ini yang bisa diolah menjadi berbagai macam seperti pupuk, bahkan gas karbon yang dihasilkan pada saat proses pembusukan sampah bisa dijadikan energi listrik.
    Untuk tempat pengelolaan dan pengolahan sampah, Pemkot Tegal sudah menyediakan lahan di wilayah bokong semar kecamatan margadana, namun luas lahan akan disesuaikan dengan kebutuhan. Effendi menambahkan, bantuan dan kerjasama pengolahan sampah organik di Kota Tegal merupakan wujud kepedulian negara-negara maju yang tidak bisa maksimal dalam mengatasi pencemaran gas karbon sehingga mengalihkannya ke negara-negara berkembang seperti indonesia.
    Pada tanggal 24 Juni 2011 Director Sustainable Development and and Multimedia Ltd Dipl Ing Marshal S J Manengkei telah mempresentasikan mengenai teknologi yang digunakan untuk mengolah sampah menjadi energi listrik. Dalam paparannya,  Marshal menyebutkan teknologi untuk pengolahan sampah di Kota Tegal yang rencananya akan dibangun merupakan teknologi Eropa. Teknologi ini belum pernah diplikasikan di Indonesia. Jadi jika pabrik pengolahan sampah ini terwujud, pabrik ini merupakan pabrik  pengolahan sampah pertama di Indonesia dengan teknologi yang dikembangkan sejak 2008 lalu. Sehingga bisa dijadikan pilot project bagi daerah lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa pabrik tersebut bukanlah TPA tetapi pabrik pengolahan sampah. Untuk mesin didatangkan langsung dari Jerman dan akan dikirim menggunakan kontainer, sehingga tidak dirakit di Indonesia. Meskipun demikian bangunan pabrik, kontraktor dan komponen lainnya dari lokal.

    Untuk mendapatkan energi listrik ada dua tahap proses pengolahan sampah yaitu tahap pertama dilakukan proses 3R ( reuse,  reduce, recycle). Kemudian hasil dari proses 3R tersebut menghasilkan biomas untuk diolah menjadi listrik dan uap panas. Uap panas yang dihasilkan dua kali lipat dibandingkan listrki yang dihasilkan.
    “Listrik yang dihasilkan akan dijual ke PLN karena PLN yang memiliki distribusi atau industri yang membutuhkan. Apalagi lokasi disekitar pabrik pengolahan sampah adalah kawasan industri,” Untuk mendirikan pabrik pengolahan sampah dengan teknologi Eropa ini, ada 3 komponen yang harus menyertai yaitu pemerintah, pihak swasta dan NGO (Non Goverment Organization) atau LSM yang lebur menjadi sebuah perusahaan pengelola pabrik pengolahan sampah. Menurut  Marshal fungsi pemerintah dalam hal ini nantinya Pemkot Tegal mengeluarkan izin supaya proyek bisa dilaksanakan dan pembangunan bisa dilakukan sesuai prosedur. Pihak swasta memberikan investasi yang lebih banyak. Sedangkan LSM menjaga kepentingan masyarakat.
    g.    Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Lindi di TPA Muarareja.
    Pengolahan lindi merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan pengelolaan sampah secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Muarareja merupakan satu-satunya TPA bagi warga Kota Tegal yang terletak diantara area tambak yang masih potensial. TPA ini masih menerapkan sistem open dumping dan belum memiliki unit pengolahanair lindi sehingga perlu direncanakan unit pengolah yang dapat menangani air lindi tersebut secara baik dan menghasilkan kualitas lindi yang dapat memenuhi baku mutu sesuai Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 10 Tahun 2004 Tentang Standar Kualitas Badan Air dan Kriteria Baku Mutu Limbah Cair untuk Kegiatan Industri atau Kegiatan Usaha Lainnya. Dari analisa laboratorium parameter-parameter yang melebihi baku mutu adalah TDS (15800 mg/L),Klorida (25264 mg/L), Phospat (22,06 mg/L), Sulfat (3,866 mg/L), Amonia (76,20 mg/L), BOD(684 mg/L), COD (1597 mg/L) dan MBAS (685 mg/L). Proses perencanaan unit pengolahan airlindi TPA Muarareja dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu : 1)  Merencanakan pipa air lindidari outlet TPA ke inlet IPAL, 2)  Mengidentifikasi kualitas dan kuantitas air lindi, 3) Merencanakan dan menganalisis alternatif unit pengolahan air lindi, 4)  Mendesain unitpengolahan air lindi serta menghitung biaya yang dibutuhkan untuk membangun  unit  pengolahan tersebut. Desain unit pengolahan air lindi tersebut harus mampu mengolah lindi sehingga efluennya memenuhi standar baku mutu tersebut dan diharapkan tidak mencemari lingkungan.

    C.    PENUTUP
    Pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendaur-ulangan  atau pembuangan dari material sampah. Pengelolaan sampah lebih  mengacu pada material sampah yg dihasilkan dari kegiatan manusia dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat, cair, gas atau radioaktif dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.
    Praktek pengelolaan sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara berkembang  berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan  berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yg tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah.
    Kota Tegal merupakan salah satu kota yang menghasilkan sampah dalam jumlah besar, dengan 700m3 perhari atau 1140 ton perhari  maka dapat menyebabkan masalah lingkungan apabila tidak ditangani dengan baik. Selama ini TPA di Kelurahan Muarareja Kecamatan tegal Barat  masih menerapkan sistem open dumping dan belum memiliki unit pengolahan sampah yang baik sehingga cenderung mencemari lingkungan. Berbagai macam usaha telah dilakukan pemerintah kota dalam rangka mengurangi dampak lingkungan yang terjadi baik secara teknis operasional, kelembagaan, pembiayaan, hukum dan kebijakan serta aspek peran serta masyarakat.
    Dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada pengelolaan sampah seperti diatas maka seyogyanya sebagai masyarakat yang merupakan penghasil utama sampah untuk lebih memperhatikan kebersihan lingkungan, mampu mengolah sampah secara individual dengan penimbunan dan pengkomposan, membuang sampah pada tempatnya dan tidak membuangnya ke sungai atau saluran air, melakukan pembiasaan hidup sehat dan bersih dan turut serta mendukung kebijakan pemerintah kota dalam rangka pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alkadri, et al., 1999, Tiga Pilar Pengembangan Wilayah, Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah-BPPT, Jakarta.

    Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1991, Standar Nasional Indonesia (SNI) S –04 – 1991 – 03 tentang Spesifikasi Timbulan sampah untuk kota kecil dan kota sedang di Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta

    Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1992, Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-2454-1992 tentang Tata cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.

    Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1994, Standar Nasional Indonesia (SNI),1994, SIN 03-3241-1994, tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.

    Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1994, Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran ContohTimbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan, Departemen PekerjaanUmum : Jakarta.

    Bintarto.R, 1997, Geografi Kota, Pengantar, cetakan pertana, Spring,Yogyakarta.

    Departemen Pekerjaan Umum, 2006, Permen PU nomor : 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem PengelolaanPersampahan (KSNP-SPP), Jakarta

    Direktorat Bina Program, Diirjen. Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum.,1992/1993, Penyusunan Pedoman Teknis Operasi dan Pemeliharaan Pembangunan Prasarana Perkotaan (Komponen Persampahan).

    Faizah, 2008, Pengolahan Sampah Berbasis Masyarakat, Tesis Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang.

    Gelbert, M., et. al., 1996, Konsep Pendidikan Lingkungan Hidup dan ”WallChart”, Buku Panduan Pendidikan Lingkungan Hidup, PPPGT/VEDC, Malang.

    Hadi, Sudharto P., 2005, Demensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

    Hartoyo, 1998. Pemanfaatan Pengelolaan Sampah Kota Jawa Timur, Bahan Seminar Nasional Penanganan Sampah Kota, Fakultas Teknik Brawijaya, Malang.

    Kementerian Lingkungan Hidup, 1997, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.

    Kementerian Lingkungan Hidup, 2008, Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Jakarta.

    Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2006, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan, Jakarta.

    Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2003, Revisi Standar Nasional Indonesia (SNI) 03 – 3242 -1994 tentang Pengelolaan Sampah diPermukiman, Jakarta.

    Suwarto, 2006, Model Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah: StudiKasus di Kawasan Perumahan Tlogosari, Kota Semarang, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang.

    Syafrudin, CES, Ir. MT, 2004, Model Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (Kajian Awal Untuk Kasus Kota Semarang), Makalah pada Diskusi Interaktif: Pengelolaan Sampah Perkotaan Secara Terpadu, Program Magister Ilmu Lingkungan UNDIP

    Tchobanoglous, G., Teisen H., Eliasen, R, 1993, Integrated Solid Waste Manajemen, Mc.Graw Hill : Kogakusha, Ltd.

    Tuti Kustiah, 2005, Kajian Kebijakan Pengelolaan Sanitasi Berbasis Masyarakat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.

    Widyatmoko dan Sintorini Moerdjoko, 2002, Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah, Abadi Tandur, Jakarta.

    ALIF FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KOTA TEGAL

    ALIH FUNGSI LAHAN DAN DAMPAKNYA BAGI PRODUKTIVITAS PERTANIAN 
    DI KOTA TEGAL
    (Studi Komparasi Alih Fungsi Lahan Pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Tegal 
    Tahun 2004-2014 DAN 2011-2030)


    PENDAHULUAN

    Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangannya terhadap PDB, penyedia lapangan kerja dan penyediaan pangan dalam negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara telah menjadi negara industri. Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi lahan pertanian. 

    Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasa warsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat. Namun demikian, implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang terbatas; (iii) Kendala konsistensi perencanaan (Nasoetion, 2003). 

    Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi disisi lain kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan lahan pertanian. Yang kedua, cakupan kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan/badan hukum yang akan menggunakan tanah dan akan merubah tanah pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan secara individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut. Padahal perubahan fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Kendala konsistensi perencanaan disebabkan karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilanjutkan dengan mekanisme pemberian ijin lokasi adalah instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya konversi lahan sawah beririgasi teknis. Dalam kenyataannya banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian. Dari data Direktorat Penata gunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional menunjukkan seandainya arahan RTRW yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6 %) yang dapat dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4 %) terancam teralih fungsikan ke penggunaan lain (Winoto, 2005). Data terakhir dari Direktorat Pengelolaan Lahan, Departemen Pertanian (2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah terkonversi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Jawa. 

    Kelemahan lain dalam peraturan perundangan yang ada yaitu : (i) Objek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku; (ii) Peraturanyang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; (iii) Jika terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena ijin konversi adalah keputusan kolektif berbagai instansi. (Simatupang dan Irawan, 2002). 

    Selain itu dua faktor strategis lain adalah pertama, yang sifatnya fundamental adalah petani sebagai pemilik lahan dan pemain dalam kelembagaan lokal belum banyak dilibatkan secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian alih fungsi. Kedua, belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi, serta pengembangan kompetensi lembaga-lembaga formal dalam menangani alih fungsi lahan pertanian. Beberapa kelemahan dan keterbatasan tersebut di atas telah menyebabkan instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selama ini telah disusun tidak dapat menyentuh secara langsung simpul-simpul kritis yang terjadi di lapangan. 

    Dalam beberapa hal alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lainnya bersifat dilematis. Pertambahan penduduk dan pertumbuhan kegiatan ekonomi yang pesat di beberapa wilayah memerlukan jumlah lahan non pertanian yang mencukupi. Namun demikian, pertambahan jumlah penduduk juga memerlukan supply bahan pangan yang lebih besar, yang berarti lahan pertanian juga lebih luas, sementara total luas lahan yang ada berjumlah tetap. Sebagai akibatnya telah terjadi persaingan yang ketat dalam pemanfaatan lahan yang berakibat pada meningkatnya nilai lahan (land rent) maka penggunaan lahan untuk pertanian akan selalu dikalahkan oleh peruntukan lain seperti industri dan perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Meskipun nilai intrinsik dari lahan pertanian, terutama sawah, jauh lebih tinggi dari nilai pasarnya (Pakpahan et. al. 2005, Sumaryanto dan Sudaryanto, 2005) namun nilai-nilai tersebut belum tercipta ‘pasarannya’ sehingga pemilik lahan/petani belum memperoleh nilai finansialnya. 

    Di sisi internal sektor pertanian, berbagai karakteristik dari usah atani sendiri belum sepenuhnya mendukung ke arah pelaksanaan pelestarian lahan pertanian yang ada. Sempitnya rata-rata luas lahan yang diusahakan petani karena proses fragmentasi yang disebabkan sistem waris pecah-bagi makin memarjinalkan kegiatan usahatani. Sempitnya lahan berakibat pada tidak tercukupinya hasil kegiatan usaha pertanian untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi mencukupi mendorong penerapan teknologi baru untuk peningkatan produktivitas. Yang terjadi kemudian bukan modernisasi (penerapan teknologi yang up to date) tapi penjualan lahan pertanian untuk penggunaan lainnya (alih fungsi lahan pertanian). Hal lain yang memperparah adalah dengan adanya desentralisasi maka daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan pertumbuhan untuk pendapatan daerah yang lebih besar. Yang terjadi kemudian adalah daerah mengutamakan pengembangan sarana dan prasarana fisik yang juga berakibat pada penggunaan lahan sawah secara langsung atau peningkatan nilai lahan karena penawaran yang lebih baik. 

    Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, seiring dengan semakin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk baik secara alami maupun migrasi, dan beragamnya tuntutan kebutuhan akan sarana dan prasarana. Disisi lain luas lahan dan potensi lahan adalah tetap (statis) yang dibatasi oleh wilayah kepemilikan baik secara administratif maupun fungsional, yang sebenarnya tidak semua bagian wilayah tersebut dapat dimanfaatkan secara ideal sebagai lahan terbangun. Intervensi penggunaan lahan kawasan pada kawasan lain yang dilakukan tanpa pertimbangan atau perencanaan yang baik akan mengganggu atau mengurangi keseimbangan kegiatan sektor-sektor pembangunan secara keseluruhan. 

    Keterbatasan luas lahan yang ada di kota menyebabkan kota akan mengalami perkembangan ke daerah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota merupakan daerah yang mengalami dinamika dalam perkembangannya, terutama dinamika dalam penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman dan menampung fungsi-fungsi atau prasarana kegiatan yang ada. 

    Pada dasarnya, perkembangan fisik kota mengandung dua macam konsekuensi, yaitu adanya intensifikasi penggunaan tanah dalam kota dan ekstensifikasi penggunaan lahan ke pinggiran kota (Sujarto, 1976). Laju perkembangan fisik kota yang terjadi saat ini, sangat dipengaruhi oleh laju perkembangan kota yang mengalami proses pergeseran penggunaan lahan dari pusat ke pinggiran. Hal tersebut timbul sebagai akibat dari keterbatasan lahan dan tingkat kompetisi penggunaan lahan di pusat kota. Sehingga mengakibatkan bergesernya penggunaan lahan permukiman ke daerah pinggiran. 

    Keterbatasan lahan di kota Tegal dan pertambahan penduduk yang sangat pesat serta adanya konsep pengembangan kota mengakibatkan wilayah mengalami perluasan dan melebar serta mendesak daerah perdesaan di pinggiran kota untuk pemukiman maupun industri. Dengan segala permasalahan-permasalahan diatas terutama menyangkut konversi penggunaan lahan maka  sangat perlu untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi dalam pengendalian konversi lahan pertanian (sawah), menganalisis efektivitas pengendalian yang telah dilakukan, mengkaji sistem pengendalian alih fungsi lahan yang bisa dilaksanakan secara efektif, dan merumuskan strategi pengendalian yang efektif.

    PEMBAHASAN
    A.    Karakteristik Wilayah Kota Tegal
    MEMILIKI LUAS DARATAN ± 39,68 km TERDIRI DARI 4 KECAMATAN, 27 KELURAHAN LETAK ASTRONOMIS :1090 08’  – 1090 10’ BT, 060 50’ – 060 53’ LS BATAS - BATAS WILAYAH : 
    SEBELAH UTARA         :     LAUT JAWA
    SEBELAH TIMUR         :     KABUPATEN TEGAL
    SEBELAH SELATAN     :     KABUPATEN TEGAL   
    SEBELAH BARAT         :    KABUPATEN BREBES

    1.    Topografi
    Arah kemirigan topografi adalah dari selatan ke utara, dimana elevasi muka tanah di kaki tanggul dengan sungai tersebut berkisar antara 1 sampai 2 meter. Keadaan tanah yang datar ini menyebabkan Kota Tegal berdiri di atas daerah endapan yang berasal dari pegunungan di sebelah selatan kota. Adapun di luar Kota Tegal di bagian selatan kota terdapat daerah Ajibarang yang relatif tinggi dan Adiwerna yang diapit oleh ke dua sungai besar, yaitu Sungai Gangsa dan Ketiwon. Kedua kawasan ini merupakan permukiman perkotaan dengan kepadatan sedang (dengan penutupan lahan maksimum 35%).

    2.    Jenis Tanah
    Jenis-jenis tanah yang terdapat di wilayah Kota Tegal dan sekitarnya meliputi tanah alluvial, latosol dan litasol. Tanah alluvial, yaitu yang tanah beraneka sifatnya, berwarna kelabu, cokelat atau hitam, produktivitasnya rendah sampai tinggi dan bisa digunakan untuk tanah pertanian utama dan permukiman.

    3.    Hidrologi
    Wilayah Kota Tegal termasuk Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali – Comal yaitu sub SWS Gung, Kemiri, Sibelis dan Gangsa. Karena hulu dari keempat sungai tersebut berada di wilayah Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes, sehingga kebijaksanaan pembangunan menyangkut wilayah sungainya adalah mengikuti kebijaksanaan SWS untuk keempat wilayah, yaitu Kabupaten Brebes, Pemalang, Kota Tegal dan Kabupaten Tegal yang termasuk dalam wilayah kerja SWS Pemali-Comal. 

    4.    Geologi Tata Lingkungan
    Dari hasil penelitian bahwa di Kota Tegal, struktur tanah pada umumnya terdiri atas tanah jenis aluvial hydromof yang berasal dari endapan tanah liat bercampur dengan pasir, dengan demikian sifat tanahnya agak sulit untuk diresapi air. Daerah sepanjang sungai Gangsa merupakan tambak, struktur tanahnya terdiri atas jenis agronosal dan humus.

    5.    Kemampuan Lahan
    Berdasarkan deskripsi rona wilayah kondisi fisik dasar Kota Tegal dapat diungkapkan sifat-sifat dan penggunaan dari jenis tanahnya. Berdasarkan jenis tanah yang ada didapat bahwa daerah Kota Tegal sesuai sebagai kawasan budidaya yaitu untuk lahan pertanian maupun permukiman.

    B.    Kondisi Lahan Pertanian Pada Rencana Tata Ruang Dan Wilayah (RTRW) Kota Tegal tahun 2011-2030

    Berdasarkan rencana perwilayahan Provinsi Jawa Tengah, BREGASMALANG yang terdiri dari Kabupaten Brebes, Kota Tegal, Kabupaten Tegal (Slawi) dan Kabupaten Pemalang merupakan wilayah dengan fungsi pengembangan sebagai pusat pelayanan lokal, provinsi dan nasional. Begitu pula menurut RTR Kawasan BREGAS, Kota Tegal termasuk Kota Orde I, yaitu sebagai pusat kegiatan wilayah dengan fungsi perdagangan, jasa, industri, maritim dan perikanan. Selain itu, dalam pengembangan struktur ruang, Kota Tegal merupakan daerah pengembangan wilayah bagian utara. Hal tersebut dikarenakan Kota Tegal berada di jalur utama transportasi Pantura Jawa Tengah, memiliki akses perekonomian yang sangat kuat ke arah Jawa Barat – Jakarta dan ke arah Semarang (Ibukota Provinsi Jawa Tengah).

    Salah satu yang berdampak pada alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian adalah kebutuhan akan kawasan budi daya di Kota Tegal. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Kawasa budidaya tersebut meliputi :
    1.    Permukiman

    Program pengembangan perumahan dan permukiman diarahkan dua program pokok, yaitu penyediaan perumahan dan perbaikan lingkungan perumahan. Pengembangan kawasan permukiman dan perumahan dilakukan berdasarkan pola sistem unit lingkungan. Rencana pengembangan kawasan permukiman berkepadatan tinggi diarahkan di sekitar pusat kota di wilayah kota lama, hal ini disesuaikan dengan kecenderungan perkembangannya. Untuk permukiman dengan kepadatan sedang dan rendah diarahkan pada daerah pengembangan.

    Arahan pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Tegal antar lain menekankan pembangunan perumahan bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, namun juga bertujuan untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan manusia di dalamnya. Hal ini mengandung maksud bahwa arah pembangunannya mencakup tidak hanya pengadaan rumah, tetapi juga melengkapinya dengan sarana dan prasarananya, seperti fasilitas pendidikan, peribadatan, tempat perbelanjaan, fasilitas kesehatan, perkantoran, tempat olahraga dan rekreasi, prasarana air bersih, telepon serta sistem pembuangan sampah dan limbah. Area pengembangan perumahan dikelompokan dalam tiga lingkungan dilihat dari tingkat kepadatannya, yaitu :
    • Lingkungan perumahan kepadatan tinggi, dengan jumlah penduduk ±150 jiwa/Ha, atau kepadatan bangunan ±30 rumah/ Ha. Lingkungan ini menempati area-area pusat kota dan di pusat-pusat kegiatan ekonomi.
    • Lingkungan perumahan kepadatan sedang, dengan jumlah penduduk ±100 jiwa/ Ha, atau kepadatan bangunan ±20 rumah/ Ha. Lingkungan ini menempati area-area peralihan antara lingkungan padat dengan lingkungan kepadatan rendah.
    • Lingkungan perumahan kepadatan rendah, dengan jumlah penduduk <100 jiwa/ Ha, atau kepadatan bangunan ±15 rumah/ Ha. Lingkungan ini menempati area-area pinggiran (pengembangan).
    • Dalam pengembangan permukiman karena keterbatasan lahan memungkinkan adanya perkembangangan permukiman secara vertikal, untuk seperti rencana rusunawa di Jl. Sawo Barat Kelurahan Tegalsari ± 5000 m2 (Barat Koramil). Rencana penggunaan lahan untuk kawasan permukiman di Kota Tegal seluas ± 1806 Ha.
    2.    Perdagangan dan Jasa
    Kegiatan perdagangan yang berada di Kota Tegal mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga pada setiap jalur jalan yang strategis memiliki kecenderungan berkembang menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Untuk itu diperlukan lahan yang bisa digunakan untuk kegiatan perdagangan tersebut. Pengalokasian kegiatan dan penyediaan fasilitas diarahkan ke  Kecamatan Margadana dan Kecamatan Tegal Barat bagian barat yang ditujukan sebagai upaya pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan melalui kegiatan ekonomi yang produktif. Adapun sasarannya agar kegiatan tidak hanya bertumpu pada pusat kotanya, tetapi dapat tersebar keseluruh wilayah Kota Tegal. Dengan demikian pusat Kota Tegal tidak mengalami beban yang sangat berat dengan adanya kegiatan-kegiatan yang harus diakomodasikan. Rencana penggunaan lahan untuk kawasan perdagangan dan jasa di Kota Tegal seluas ± 398 Ha.

    3.    Peruntukan Industri
    Sesuai dengan rencana kawasan peruntukan industri Kota Tegal Tahun 2009 lokasi yang terpilih untuk Pengembangan Kawasan Peruntukan Industri direncanakan di wilayah Kelurahan Pesurungan Lor (Kecamatan Margadana) dan sebagian Kelurahan Muarareja (Kecamatan Tegal Barat). Tanah yang akan digunakan adalah sebesar 300.000 m2 (30 ha) dan luas kapling untuk bangunan pabrik, pengelola dan sarana penunjang lainnya sebesar 210.000 m2 (21 ha). Mengingat relatif masih sulitnya dunia usaha untuk berkembang dalam kondisi krisis ekonomi global yang ada saat ini serta mahalnya investasi yang harus dikeluarkan. Luasan ini merupakan luasan lahan minimal untuk kawasan peruntukan industri yang dipersyaratkan.

    4.    Perikanan
    •    Kawasan Perikanan Darat (Tambak)
    Sesuai dengan rencana penggunaan lahan Kota Tegal tahun 2011-2031 untuk perikanan darat berupa kawasan tambak seluas 420,1927 Ha, yang terletak di Kecamatan Tegal Barat, Kecamatan Tegal Timur, dan Kecamatan Margadana. Perlu adanya intensifikasi subsektor perikanan darat seperti, irigasi tambak agar pergantian air tambak lancar, pengendalian hama dan penyakit terpadu dan penanganan pasca panen termasuk pemasarannya. Kawasan tambak sebagai lahan perikanan darat, namun secara ekologis peran kawasan tambak dimanfaatkan sebagai area tangkapan air hujan. Mengingat peran dan fungsi kawasan tambak yang cukup penting dalam ekosistem diupayakan pelestariannya dan dijaga agar tidak menjadi kawasan terbangun. Kawasan tambak sebagian besar terdapat pada wilayah Tegal Barat dan wilayah Margadana. Di samping fungsinya sebagai lahan perikanan darat, namun secara ekologis peran kawasan tambak dimanfaatkan sebagai area tangkapan air hujan. Mengingat peran dan fungsi kawasan tambak yang cukup penting dalam ekosistem Kota Tegal, maka kawasan tambak diupayakan pelestariannya dan dijaga agar tidak menjadi kawasan terbangun.

    •    Kawasan Perikanan Laut
    Kawasan perikanan laut adalah perairan umum laut, sarana dan prasarananya yaitu Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), tempat pelelangan ikan (TPI) dan galangan kapal. Kawasan ini terletak di Kecamatan Tegal Barat. Guna menunjang kegiatan ekonomi perikanan diperlukan area bagi kegiatan pengolahan ikan (fillet) dan ikan asin yang dilengkapi dengan sarana-prasarana penunjangnya termasuk unit pengolah limbah. Dengan disediakannya area pengolahan ikan (fillet) dan ikan asin tersebut maka kegiatan serupa yang masih berada di lingkungan permukiman dapat dipindahkan sehingga dampak limbahnya tidak lagi mengganggu kegiatan hunian masyarakat.

    5.    Pertanian
    Kawasan pertanian meliputi lahan sawah irigasi teknis, dan sawah irigasi non teknis. Untuk menunjang kegiatan pertanian ini, maka keberadaan prasarana irigasi teknis yang ada diupayakan tetap dapat berfungsi serta dilakukan perawatan secara periodik. Sesuai dalam rencana penggunaan lahan untuk lahan pertanian seluas ± 1060 Ha. Adapun sawah lestari yang tetap dipertahankan berada meliputi:
    • Kecamatan Tegal Timur : Kelurahan Slerok;
    • Kecamatan Tegal Barat : Kelurahan Pesurungan Kidul, Kelurahan Debong Lor, Kelurahan Kemandungan, Kelurahan Pekauman, Kelurahan Kraton, Kelurahan Tegalsari;
    • Seluruh kelurahan di Kecamatan Margadana masih tersebar sawah produktif;
    • Kecamatan Tegal Selatan : Kelurahan Kalinyamat Wetan, Kelurahan Bandung, Kelurahan Debong Kidul, Kelurahan Tunon, Kelurahan Keturen, Kelurahan Debong Tengah.

    C.    Pertanian dan Alih Fungsi Lahan di Kota Tegal
    1.    Manfaat Lahan Pertanian
    Lahan pertanian mempunyai manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Secara ekonomi, lahan pertanian adalah masukan paling esensial dari berlangsungnya proses produksi, kesempatan kerja, pendapatan, devisa, dan lain sebagainya. Secara sosial, eksistensi lahan pertanian terkait dengan eksistensi kelembagaan masyarakat petani dan aspek budaya lainnya. Dari aspek lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya lebih kompatibel dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. 

    Berbagai klasifikasi manfaat lahan pertanian dapat disimak dalam Munasinghe (1992), Callaghan (1992), Sogo Kenkyu (1998), ataupun Yoshida (1994). Dua kategori manfaat yaitu: use values dan non use values. Use values atau nilai penggunaan yang dapat pula disebut sebagai personal use values. Ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani pada lahan pertanian. Non-use values yang bersifat sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan, sepert terpeliharanya keragaman hayati atau pemanfaatan lahan pertanian sebagai wahana pendidikan lingkungan. 

    Jika diperhitungkan secara komprehensif, manfaat per hektar lahan sawah ternyata sangat besar. Lahan sawah di DAS Citarum memperoleh taksiran nilai sekitar Rp. 17,4 juta per hektar per tahun (Agus et al,2004). Sedangkan DAS Brantas total nilai manfaat lahan sawah adalah sekitar Rp. 37,5 juta per hektar per tahun, dimana 60 % dari angka itu bukan termasuk marketed output (Irawan et al, 2002).

    2.    Konversi Lahan Sawah Pola, Besaran dan Kecenderungan
    Pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Menurut pelaku konversi maka dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif pada umumnya adalah untuk pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, atau kombinasinya. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan yaitu pemilik menjual kepada pihak lain.

    Menurut Irawan  (2005) konversi lahan cenderung menular/meningkat disebabkan oleh dua faktor terkait. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi yang terkonversi, maka aksesibilitas di lokasi tersebut semakin mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, meningkatnya harga lahan selanjutnya mendorong petani lain di sekitarnya untuk menjual lahannya. Pembeli tanah tersebut biasanya bukan penduduk setempat sehingga akan terbentuk lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses konversi lahan (Wibowo, 1996). 

    Kerugian sosial jangka panjang akibat alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian sangat besar. Alih fungsi lahan pertanian terutama sawah tidak hanya menyebabkan kapasitas memproduksi pangan turun, tetapi merupakan salah satu bentuk pemubaziran investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan budaya pertanian, dan merupakan salah satu sebab semakin sempitnya luas garapan usaha tani serta turunnya kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pengendalian konversi lahan sawah merupakan salah satu isu kebijakan yang sangat strategis. 

    Oleh karena permasalahannya sangat kompleks maka strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian memerlukan pendekatan holistik yang didalamnya memuat instrumen yuridis, instrumen insentif bagi pemilik lahan pertanian, dan instrumen rencana tata ruang wilayah dan perizinan lokasi secara terpadu. Agar implementasinya di lapangan efektif maka strategi yang ditempuh harus semaksimal mungkin dapat mengakomodasikan implikasi dari keberagaman maupun dinamika perekonomian wilayah. 

    Kota Tegal adalah kota yang cenderung dinamis. Dengan letaknya yang strategis maka industri dan sarana prasarana berkembang dengan pesat, demikian juga dengan perumahan penduduk. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan sarana prasarana seperti Gedung Perkantoran, Pusat Belanja, Industri dan lainnya maka kebutuhan akan ruang menjadi semakin mendesak, disisi lain kebutuhan akan usaha mempertahankan sawah sebagai lahan pertanian menjadi semakin kecil. Hal ini menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi areal pemukiman, industri dan sarana prasarana penduduk.

    3.    Hasil Temuan Dan Analisa Terhadap Permasalahan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah
    Beberapa temuan yang diperoleh dari observasi lapangan terhadap alih fungsi lahan dari pertanian menjadi pemukiman, industri dan peruntukan non pertanian lainnya dapat disebutkan sebagai berikut :
    1. HASIL verifikasi yang dilakukan Panitia Khusus (Pansus) V DPRD, terkait masalah lahan pertanian di beberapa titik. Ternyata ada temuan alih fungsi lahan di Jalan Sipelem, dari lahan pertanian jadi perumahan. Sedangkan tim Pokja Pemkot Tegal yang mendampingi Pansus, mengaku belum mengetahui proses perijinannya. Berdasarkan hasil verifikasi di lapangan dan berdasarkan data yang ada, lahan persawahan di Kecamatan Tegal Barat tinggal 20 hektare lahan pertanian. Terbagi bagian barat seluas 5 hektare, bagian timur 15 hektare. Namun dari hasil verifikasi, ada temuan fungsi perubahan lahan untuk perumahan, yang terletak di Jalan Sipelem. Untuk Kecamatan Tegal Barat, sawah produktif banyak berkurang. Dari hasil verifikasi lapangan telah ditemukan perubahan radikal yang terdapat di Muaranyar Kelurahan Muarareja Kecamatan Tegal Barat. Awalnya daerah tersebut tambak, tapi dalam desaian jadi kawasan pemukiman dan konservasi Ruang Terbuka Hijau (RTH).
    2. Lemahnya komitmen dan tidak adanya regulasi yang jelas dalam bentuk perda tersendiri menyebabkan Lahan Persawahan Abadi Kota Tegal tinggal menunggu waktu saja untuk habis tak tersisa termakan kebijakan yang ambivalen. Lahan Persawahan Abadi sebenarnya sangat strategis untuk menunjang program ketahanan pangan serta sebagai daerah resapan air hujan. Ketika Lahan Persawahan Abadi habis maka ketahanan pangan dengan sendirinya akan terganggu dan genangan air hujan akan lebih lama karena daerah tangkapan air berupa Lahan Persawahan Abadi habis tidak tersisa. Jika kondsisi pengalih fungsian Lahan Persawahan Abadi yang sudah tertuang dalam Raperda RTRW dibiarkan maka produktifitas panenan padi tidak bisa ditingkatkan. Untuk meningkatkan produktifitas padi dibutuhkan SDM yang berkualitas dan kompeten di bidang pertanian serta memiliki jam terbang yang tinggi serta sistem irigasi yang baik dan butuh anggaran yang lebih untuk melakukan penelitian serta pembinaan kepada para kelompok tani yang ada. Sebelum terlambat lebih jauh Pemerintah Kota harus mengambil langkah penyelamatan Lahan Persawahan Abadi yang sudah dicanangkan sendiri agar tidak musnah begitu saja. Lahan-lahan Persawahan Abadi harus dilindungi dan disosialisasikan kemasyarakat umum agar masyarakat tahu dan ikut mengawasinya. Lahan-lahan Persawahan Abadi yang masih dimiliki warga harus dibeli Pemerintah untuk kemudian disewakan kepada para petani penggarap dengan harga yang terjangkau dan tidak membebani para petani penggarap sehingga ada jaminan lahan tersebut tidak beralih fungsi menjadi perumahan. Bisa juga Pemerintah Kota membeli hasil panen padi para petani dengan harga yang tinggi sehingga para petani bisa mendapatkan keuntungan yang lebih sehingga hidupnya bisa lebih sejahtera. Ketika kesejahteraan mereka meningkat karena bercocok tanam padi maka kemungkinan yang terjadi adalah mereka tidak akan menjual lahan sawahnya.

    PENUTUP

    Berdasarkan kajian terhadap alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian maka dapat disimpulkan bahwa :
    1. Telah terjadi alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian yaitu digunakan untuk perumahan dan industri.
    2. Salah satu pendorong terjadinya alih fungsi lahan adalah sempitnya rata-rata penguasaan pengusahaan lahan di tingkat petani. Keadaan ini salah satunya dipicu oleh kecenderungan fragmentasi lahan di tingkat petani, serta banyaknya lahan-lahan di pedesaan yang dikuasai oleh orang di luar desa (tanah guntai) akibat tidak tertatanya sistem jual beli lahan di pedesaan. Upaya perluasan lahan yang diusahakan atau digarap petani, merupakan salah satu bentuk upaya dalam memperkecil peluang alih fungsi lahan. Pengaturan disini terkait dengan pencegahan fragmentasi lahan dan penataan jual beli lahan untuk mengurangi tanah guntai serta konsolidasi lahan, baik konsolidasi hamparan maupun konsolidasi pemilikan.
    3. Fragmentasi lahan umumnya terkait dengan persoalan waris, berbagai hukum positif yang ada dalam hal perwarisan, baik hukum yang berbasiskan adat, agama dan lainnya cenderung mendukung ke arah fragmentasi lahan. Akibatnya dari waktu ke waktu, rata-rata penguasaan lahan di tingkat petani cenderung semakin sempit. Ke depan perlu ada upaya yang sistematis untuk mencegah terjadinya fragmentasi pengusahaan. Terkait dengan rencana undang-undang tentang lahan pertanian abadi, salah satu klausul yang harus ada dalam undang-undang tersebut adalah pengaturan batas minimal yang diizinkan dalam hal penguasaan atau minimal pengusahaan lahan, dan hal ini terkait dengan aturan perwarisan.
    4. Upaya pencegahan fragmentasi lahan justru terletak pada upaya pengembangan usaha yang tidak berbasis lahan di pedesaan. Revitalisasi pedesaan merupakan jawaban yang lebih tepat dengan sasaran pengembangan kegiatan non-pertanian di pedesaan, atau upaya peningkatan sumberdaya manusia di pedesaan yang dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja terampil di perkotaan atau pasar tenaga kerja di pasaran global.
    5. Penataan kepemilikan lahan di pedesaan dengan mengurangi penguasaan lahan oleh orang luar desa (perkotaan), perlu mendapat perhatian. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) melakukan pengaturan dengan melarang penguasaan lahan oleh orang dari luar kecamatan. Pengaturan semacam ini nampaknya didasari kondisi masa itu (tahun 60-an) dimana aksesibilitas antar kecamatan masih sulit, sehingga dikhawatirkan lahan di luar kecamatan tidak tergarap secara optimal.
    6. Aspek yang perlu dicermati adalah pemilikan lahan pertanian oleh penduduk yang bukan petani, yang sangat banyak dijumpai di daerah-daerah termasuk di Kota Tegal. Lahan pertanian banyak dikuasai oleh ”orang kota” dan hal ini umumnya dimaksudkan sebagai investasi atau spekulasi, karena pesatnya pengembangan kegiatan industri dan sarana perumahan di wilayah ini.
    7. Untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah diperlukan instrumen hukum yang merupakan kondisi derajat pertama, dan instrumen ekonomi sebagai kondisi derajat kedua. Selain itu, diperlukan pula adanya rekayasa kelembagaan sosial atau penguatan kelembagaan lokal di tingkat petani.

    PUSTAKA
    Agus, F., Wahyunto, L. W. Robert, H.T. Sidik and Sutono. 2004. Land Use Changes and Their Effect on environmental Functions of Agriculture. Prosiding Seminar  Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Agroklimat.

    Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Agro Ekonomi 23(1): 1 - 18.

    Irawan, B., A. Setyanto, B. Rahmanto, N. Agustin, A. Askin. 2002. Analisis Nilai Ekonomi Sumberdaya Lahan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

    Nasoetion, L. I. 2003. Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan Implementasinya. Dalam Kurnia et al (eds). Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

    Nasoetion, L. I. dan J. Winoto. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlanjutan swasembada pangan dalam prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Kerjasama Puslit Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Bogor.

    Pakpahan, A., H. Kartodihardjo, R. Wibowo, H. Nataatmadja, S. Sadjad, E. Haris dan H. Wijaya. 2005. Membangun pertanian Indonesia: Bekerja, bermartabat dan sejahtera. Himpunan alumni IPB Bogor. Cetakan II, Maret 2005.

    Bappeda Kota Tegal. 2004. Perda RTRW Kota Tegal tahun 2004-2014.

    Bappeda Kota Tegal. 2011. Raperda RTRW Kota Tegal tahun 2011-2030.

    Simatupang, P dan B. Irawan.2002. Pengendalian konversi lahan pertanian : Tinjauan ulang kebijakan lahan pertanian abadi. Makalah Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian, 25 Oktober 2002. Badan Litbang Deptan. Jakarta.

    Simatupang, P. 2000. Fenomena perlambatan dan instabilitas pertumbuhan produksi beras Nasional : Akar penyebab dan kebijakan pemulihannya. Makalah disampaikan pada Praseminar Nasional Sektor Pertanian Tahun 2002: Kendala, Tantangan dan Prospek, Bogor 4 Oktober 2000, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

    Simatupang, P. 2004. Kembalikan Subsidi Pupuk kepada Petani. Kompas, 19 Mei 2004. Jakarta.

    Simatupang, P., S. H. Susilowati dan Markos. 1990. Penggandaan tenaga kerja dan pendapatan agro-industri di Indonesia. Dalam Simatupang, P. et. al. Agro Industri Faktor Penunjang Pembangunan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor.

    Wibowo, S.C. 1996. Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Beras : Studi Kasus di Jawa Timur. Jurusan Tanah Faperta IPB.

    Winoto, Joyo. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Makalah (Keynote Speech) dipresentasikan dalam SEMINAR PENANGANAN KONVERSI LAHAN DAN PENCAPAIAN LAHAN PERTANIAN ABADI yang diselenggarakan oleh Kerjasama Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3 - LPPM IPB) di Jakarta, 13 Desember 2005.