Kamis, 09 Februari 2012

ALIF FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KOTA TEGAL

ALIH FUNGSI LAHAN DAN DAMPAKNYA BAGI PRODUKTIVITAS PERTANIAN 
DI KOTA TEGAL
(Studi Komparasi Alih Fungsi Lahan Pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Tegal 
Tahun 2004-2014 DAN 2011-2030)


PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangannya terhadap PDB, penyedia lapangan kerja dan penyediaan pangan dalam negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara telah menjadi negara industri. Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi lahan pertanian. 

Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasa warsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat. Namun demikian, implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang terbatas; (iii) Kendala konsistensi perencanaan (Nasoetion, 2003). 

Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi disisi lain kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan lahan pertanian. Yang kedua, cakupan kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan/badan hukum yang akan menggunakan tanah dan akan merubah tanah pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan secara individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut. Padahal perubahan fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Kendala konsistensi perencanaan disebabkan karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilanjutkan dengan mekanisme pemberian ijin lokasi adalah instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya konversi lahan sawah beririgasi teknis. Dalam kenyataannya banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian. Dari data Direktorat Penata gunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional menunjukkan seandainya arahan RTRW yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6 %) yang dapat dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4 %) terancam teralih fungsikan ke penggunaan lain (Winoto, 2005). Data terakhir dari Direktorat Pengelolaan Lahan, Departemen Pertanian (2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah terkonversi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Jawa. 

Kelemahan lain dalam peraturan perundangan yang ada yaitu : (i) Objek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku; (ii) Peraturanyang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; (iii) Jika terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena ijin konversi adalah keputusan kolektif berbagai instansi. (Simatupang dan Irawan, 2002). 

Selain itu dua faktor strategis lain adalah pertama, yang sifatnya fundamental adalah petani sebagai pemilik lahan dan pemain dalam kelembagaan lokal belum banyak dilibatkan secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian alih fungsi. Kedua, belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi, serta pengembangan kompetensi lembaga-lembaga formal dalam menangani alih fungsi lahan pertanian. Beberapa kelemahan dan keterbatasan tersebut di atas telah menyebabkan instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selama ini telah disusun tidak dapat menyentuh secara langsung simpul-simpul kritis yang terjadi di lapangan. 

Dalam beberapa hal alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lainnya bersifat dilematis. Pertambahan penduduk dan pertumbuhan kegiatan ekonomi yang pesat di beberapa wilayah memerlukan jumlah lahan non pertanian yang mencukupi. Namun demikian, pertambahan jumlah penduduk juga memerlukan supply bahan pangan yang lebih besar, yang berarti lahan pertanian juga lebih luas, sementara total luas lahan yang ada berjumlah tetap. Sebagai akibatnya telah terjadi persaingan yang ketat dalam pemanfaatan lahan yang berakibat pada meningkatnya nilai lahan (land rent) maka penggunaan lahan untuk pertanian akan selalu dikalahkan oleh peruntukan lain seperti industri dan perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Meskipun nilai intrinsik dari lahan pertanian, terutama sawah, jauh lebih tinggi dari nilai pasarnya (Pakpahan et. al. 2005, Sumaryanto dan Sudaryanto, 2005) namun nilai-nilai tersebut belum tercipta ‘pasarannya’ sehingga pemilik lahan/petani belum memperoleh nilai finansialnya. 

Di sisi internal sektor pertanian, berbagai karakteristik dari usah atani sendiri belum sepenuhnya mendukung ke arah pelaksanaan pelestarian lahan pertanian yang ada. Sempitnya rata-rata luas lahan yang diusahakan petani karena proses fragmentasi yang disebabkan sistem waris pecah-bagi makin memarjinalkan kegiatan usahatani. Sempitnya lahan berakibat pada tidak tercukupinya hasil kegiatan usaha pertanian untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi mencukupi mendorong penerapan teknologi baru untuk peningkatan produktivitas. Yang terjadi kemudian bukan modernisasi (penerapan teknologi yang up to date) tapi penjualan lahan pertanian untuk penggunaan lainnya (alih fungsi lahan pertanian). Hal lain yang memperparah adalah dengan adanya desentralisasi maka daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan pertumbuhan untuk pendapatan daerah yang lebih besar. Yang terjadi kemudian adalah daerah mengutamakan pengembangan sarana dan prasarana fisik yang juga berakibat pada penggunaan lahan sawah secara langsung atau peningkatan nilai lahan karena penawaran yang lebih baik. 

Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, seiring dengan semakin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk baik secara alami maupun migrasi, dan beragamnya tuntutan kebutuhan akan sarana dan prasarana. Disisi lain luas lahan dan potensi lahan adalah tetap (statis) yang dibatasi oleh wilayah kepemilikan baik secara administratif maupun fungsional, yang sebenarnya tidak semua bagian wilayah tersebut dapat dimanfaatkan secara ideal sebagai lahan terbangun. Intervensi penggunaan lahan kawasan pada kawasan lain yang dilakukan tanpa pertimbangan atau perencanaan yang baik akan mengganggu atau mengurangi keseimbangan kegiatan sektor-sektor pembangunan secara keseluruhan. 

Keterbatasan luas lahan yang ada di kota menyebabkan kota akan mengalami perkembangan ke daerah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota merupakan daerah yang mengalami dinamika dalam perkembangannya, terutama dinamika dalam penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman dan menampung fungsi-fungsi atau prasarana kegiatan yang ada. 

Pada dasarnya, perkembangan fisik kota mengandung dua macam konsekuensi, yaitu adanya intensifikasi penggunaan tanah dalam kota dan ekstensifikasi penggunaan lahan ke pinggiran kota (Sujarto, 1976). Laju perkembangan fisik kota yang terjadi saat ini, sangat dipengaruhi oleh laju perkembangan kota yang mengalami proses pergeseran penggunaan lahan dari pusat ke pinggiran. Hal tersebut timbul sebagai akibat dari keterbatasan lahan dan tingkat kompetisi penggunaan lahan di pusat kota. Sehingga mengakibatkan bergesernya penggunaan lahan permukiman ke daerah pinggiran. 

Keterbatasan lahan di kota Tegal dan pertambahan penduduk yang sangat pesat serta adanya konsep pengembangan kota mengakibatkan wilayah mengalami perluasan dan melebar serta mendesak daerah perdesaan di pinggiran kota untuk pemukiman maupun industri. Dengan segala permasalahan-permasalahan diatas terutama menyangkut konversi penggunaan lahan maka  sangat perlu untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi dalam pengendalian konversi lahan pertanian (sawah), menganalisis efektivitas pengendalian yang telah dilakukan, mengkaji sistem pengendalian alih fungsi lahan yang bisa dilaksanakan secara efektif, dan merumuskan strategi pengendalian yang efektif.

PEMBAHASAN
A.    Karakteristik Wilayah Kota Tegal
MEMILIKI LUAS DARATAN ± 39,68 km TERDIRI DARI 4 KECAMATAN, 27 KELURAHAN LETAK ASTRONOMIS :1090 08’  – 1090 10’ BT, 060 50’ – 060 53’ LS BATAS - BATAS WILAYAH : 
SEBELAH UTARA         :     LAUT JAWA
SEBELAH TIMUR         :     KABUPATEN TEGAL
SEBELAH SELATAN     :     KABUPATEN TEGAL   
SEBELAH BARAT         :    KABUPATEN BREBES

1.    Topografi
Arah kemirigan topografi adalah dari selatan ke utara, dimana elevasi muka tanah di kaki tanggul dengan sungai tersebut berkisar antara 1 sampai 2 meter. Keadaan tanah yang datar ini menyebabkan Kota Tegal berdiri di atas daerah endapan yang berasal dari pegunungan di sebelah selatan kota. Adapun di luar Kota Tegal di bagian selatan kota terdapat daerah Ajibarang yang relatif tinggi dan Adiwerna yang diapit oleh ke dua sungai besar, yaitu Sungai Gangsa dan Ketiwon. Kedua kawasan ini merupakan permukiman perkotaan dengan kepadatan sedang (dengan penutupan lahan maksimum 35%).

2.    Jenis Tanah
Jenis-jenis tanah yang terdapat di wilayah Kota Tegal dan sekitarnya meliputi tanah alluvial, latosol dan litasol. Tanah alluvial, yaitu yang tanah beraneka sifatnya, berwarna kelabu, cokelat atau hitam, produktivitasnya rendah sampai tinggi dan bisa digunakan untuk tanah pertanian utama dan permukiman.

3.    Hidrologi
Wilayah Kota Tegal termasuk Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali – Comal yaitu sub SWS Gung, Kemiri, Sibelis dan Gangsa. Karena hulu dari keempat sungai tersebut berada di wilayah Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes, sehingga kebijaksanaan pembangunan menyangkut wilayah sungainya adalah mengikuti kebijaksanaan SWS untuk keempat wilayah, yaitu Kabupaten Brebes, Pemalang, Kota Tegal dan Kabupaten Tegal yang termasuk dalam wilayah kerja SWS Pemali-Comal. 

4.    Geologi Tata Lingkungan
Dari hasil penelitian bahwa di Kota Tegal, struktur tanah pada umumnya terdiri atas tanah jenis aluvial hydromof yang berasal dari endapan tanah liat bercampur dengan pasir, dengan demikian sifat tanahnya agak sulit untuk diresapi air. Daerah sepanjang sungai Gangsa merupakan tambak, struktur tanahnya terdiri atas jenis agronosal dan humus.

5.    Kemampuan Lahan
Berdasarkan deskripsi rona wilayah kondisi fisik dasar Kota Tegal dapat diungkapkan sifat-sifat dan penggunaan dari jenis tanahnya. Berdasarkan jenis tanah yang ada didapat bahwa daerah Kota Tegal sesuai sebagai kawasan budidaya yaitu untuk lahan pertanian maupun permukiman.

B.    Kondisi Lahan Pertanian Pada Rencana Tata Ruang Dan Wilayah (RTRW) Kota Tegal tahun 2011-2030

Berdasarkan rencana perwilayahan Provinsi Jawa Tengah, BREGASMALANG yang terdiri dari Kabupaten Brebes, Kota Tegal, Kabupaten Tegal (Slawi) dan Kabupaten Pemalang merupakan wilayah dengan fungsi pengembangan sebagai pusat pelayanan lokal, provinsi dan nasional. Begitu pula menurut RTR Kawasan BREGAS, Kota Tegal termasuk Kota Orde I, yaitu sebagai pusat kegiatan wilayah dengan fungsi perdagangan, jasa, industri, maritim dan perikanan. Selain itu, dalam pengembangan struktur ruang, Kota Tegal merupakan daerah pengembangan wilayah bagian utara. Hal tersebut dikarenakan Kota Tegal berada di jalur utama transportasi Pantura Jawa Tengah, memiliki akses perekonomian yang sangat kuat ke arah Jawa Barat – Jakarta dan ke arah Semarang (Ibukota Provinsi Jawa Tengah).

Salah satu yang berdampak pada alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian adalah kebutuhan akan kawasan budi daya di Kota Tegal. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Kawasa budidaya tersebut meliputi :
1.    Permukiman

Program pengembangan perumahan dan permukiman diarahkan dua program pokok, yaitu penyediaan perumahan dan perbaikan lingkungan perumahan. Pengembangan kawasan permukiman dan perumahan dilakukan berdasarkan pola sistem unit lingkungan. Rencana pengembangan kawasan permukiman berkepadatan tinggi diarahkan di sekitar pusat kota di wilayah kota lama, hal ini disesuaikan dengan kecenderungan perkembangannya. Untuk permukiman dengan kepadatan sedang dan rendah diarahkan pada daerah pengembangan.

Arahan pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Tegal antar lain menekankan pembangunan perumahan bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, namun juga bertujuan untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan manusia di dalamnya. Hal ini mengandung maksud bahwa arah pembangunannya mencakup tidak hanya pengadaan rumah, tetapi juga melengkapinya dengan sarana dan prasarananya, seperti fasilitas pendidikan, peribadatan, tempat perbelanjaan, fasilitas kesehatan, perkantoran, tempat olahraga dan rekreasi, prasarana air bersih, telepon serta sistem pembuangan sampah dan limbah. Area pengembangan perumahan dikelompokan dalam tiga lingkungan dilihat dari tingkat kepadatannya, yaitu :
  • Lingkungan perumahan kepadatan tinggi, dengan jumlah penduduk ±150 jiwa/Ha, atau kepadatan bangunan ±30 rumah/ Ha. Lingkungan ini menempati area-area pusat kota dan di pusat-pusat kegiatan ekonomi.
  • Lingkungan perumahan kepadatan sedang, dengan jumlah penduduk ±100 jiwa/ Ha, atau kepadatan bangunan ±20 rumah/ Ha. Lingkungan ini menempati area-area peralihan antara lingkungan padat dengan lingkungan kepadatan rendah.
  • Lingkungan perumahan kepadatan rendah, dengan jumlah penduduk <100 jiwa/ Ha, atau kepadatan bangunan ±15 rumah/ Ha. Lingkungan ini menempati area-area pinggiran (pengembangan).
  • Dalam pengembangan permukiman karena keterbatasan lahan memungkinkan adanya perkembangangan permukiman secara vertikal, untuk seperti rencana rusunawa di Jl. Sawo Barat Kelurahan Tegalsari ± 5000 m2 (Barat Koramil). Rencana penggunaan lahan untuk kawasan permukiman di Kota Tegal seluas ± 1806 Ha.
2.    Perdagangan dan Jasa
Kegiatan perdagangan yang berada di Kota Tegal mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga pada setiap jalur jalan yang strategis memiliki kecenderungan berkembang menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Untuk itu diperlukan lahan yang bisa digunakan untuk kegiatan perdagangan tersebut. Pengalokasian kegiatan dan penyediaan fasilitas diarahkan ke  Kecamatan Margadana dan Kecamatan Tegal Barat bagian barat yang ditujukan sebagai upaya pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan melalui kegiatan ekonomi yang produktif. Adapun sasarannya agar kegiatan tidak hanya bertumpu pada pusat kotanya, tetapi dapat tersebar keseluruh wilayah Kota Tegal. Dengan demikian pusat Kota Tegal tidak mengalami beban yang sangat berat dengan adanya kegiatan-kegiatan yang harus diakomodasikan. Rencana penggunaan lahan untuk kawasan perdagangan dan jasa di Kota Tegal seluas ± 398 Ha.

3.    Peruntukan Industri
Sesuai dengan rencana kawasan peruntukan industri Kota Tegal Tahun 2009 lokasi yang terpilih untuk Pengembangan Kawasan Peruntukan Industri direncanakan di wilayah Kelurahan Pesurungan Lor (Kecamatan Margadana) dan sebagian Kelurahan Muarareja (Kecamatan Tegal Barat). Tanah yang akan digunakan adalah sebesar 300.000 m2 (30 ha) dan luas kapling untuk bangunan pabrik, pengelola dan sarana penunjang lainnya sebesar 210.000 m2 (21 ha). Mengingat relatif masih sulitnya dunia usaha untuk berkembang dalam kondisi krisis ekonomi global yang ada saat ini serta mahalnya investasi yang harus dikeluarkan. Luasan ini merupakan luasan lahan minimal untuk kawasan peruntukan industri yang dipersyaratkan.

4.    Perikanan
•    Kawasan Perikanan Darat (Tambak)
Sesuai dengan rencana penggunaan lahan Kota Tegal tahun 2011-2031 untuk perikanan darat berupa kawasan tambak seluas 420,1927 Ha, yang terletak di Kecamatan Tegal Barat, Kecamatan Tegal Timur, dan Kecamatan Margadana. Perlu adanya intensifikasi subsektor perikanan darat seperti, irigasi tambak agar pergantian air tambak lancar, pengendalian hama dan penyakit terpadu dan penanganan pasca panen termasuk pemasarannya. Kawasan tambak sebagai lahan perikanan darat, namun secara ekologis peran kawasan tambak dimanfaatkan sebagai area tangkapan air hujan. Mengingat peran dan fungsi kawasan tambak yang cukup penting dalam ekosistem diupayakan pelestariannya dan dijaga agar tidak menjadi kawasan terbangun. Kawasan tambak sebagian besar terdapat pada wilayah Tegal Barat dan wilayah Margadana. Di samping fungsinya sebagai lahan perikanan darat, namun secara ekologis peran kawasan tambak dimanfaatkan sebagai area tangkapan air hujan. Mengingat peran dan fungsi kawasan tambak yang cukup penting dalam ekosistem Kota Tegal, maka kawasan tambak diupayakan pelestariannya dan dijaga agar tidak menjadi kawasan terbangun.

•    Kawasan Perikanan Laut
Kawasan perikanan laut adalah perairan umum laut, sarana dan prasarananya yaitu Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), tempat pelelangan ikan (TPI) dan galangan kapal. Kawasan ini terletak di Kecamatan Tegal Barat. Guna menunjang kegiatan ekonomi perikanan diperlukan area bagi kegiatan pengolahan ikan (fillet) dan ikan asin yang dilengkapi dengan sarana-prasarana penunjangnya termasuk unit pengolah limbah. Dengan disediakannya area pengolahan ikan (fillet) dan ikan asin tersebut maka kegiatan serupa yang masih berada di lingkungan permukiman dapat dipindahkan sehingga dampak limbahnya tidak lagi mengganggu kegiatan hunian masyarakat.

5.    Pertanian
Kawasan pertanian meliputi lahan sawah irigasi teknis, dan sawah irigasi non teknis. Untuk menunjang kegiatan pertanian ini, maka keberadaan prasarana irigasi teknis yang ada diupayakan tetap dapat berfungsi serta dilakukan perawatan secara periodik. Sesuai dalam rencana penggunaan lahan untuk lahan pertanian seluas ± 1060 Ha. Adapun sawah lestari yang tetap dipertahankan berada meliputi:
  • Kecamatan Tegal Timur : Kelurahan Slerok;
  • Kecamatan Tegal Barat : Kelurahan Pesurungan Kidul, Kelurahan Debong Lor, Kelurahan Kemandungan, Kelurahan Pekauman, Kelurahan Kraton, Kelurahan Tegalsari;
  • Seluruh kelurahan di Kecamatan Margadana masih tersebar sawah produktif;
  • Kecamatan Tegal Selatan : Kelurahan Kalinyamat Wetan, Kelurahan Bandung, Kelurahan Debong Kidul, Kelurahan Tunon, Kelurahan Keturen, Kelurahan Debong Tengah.

C.    Pertanian dan Alih Fungsi Lahan di Kota Tegal
1.    Manfaat Lahan Pertanian
Lahan pertanian mempunyai manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Secara ekonomi, lahan pertanian adalah masukan paling esensial dari berlangsungnya proses produksi, kesempatan kerja, pendapatan, devisa, dan lain sebagainya. Secara sosial, eksistensi lahan pertanian terkait dengan eksistensi kelembagaan masyarakat petani dan aspek budaya lainnya. Dari aspek lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya lebih kompatibel dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. 

Berbagai klasifikasi manfaat lahan pertanian dapat disimak dalam Munasinghe (1992), Callaghan (1992), Sogo Kenkyu (1998), ataupun Yoshida (1994). Dua kategori manfaat yaitu: use values dan non use values. Use values atau nilai penggunaan yang dapat pula disebut sebagai personal use values. Ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani pada lahan pertanian. Non-use values yang bersifat sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan, sepert terpeliharanya keragaman hayati atau pemanfaatan lahan pertanian sebagai wahana pendidikan lingkungan. 

Jika diperhitungkan secara komprehensif, manfaat per hektar lahan sawah ternyata sangat besar. Lahan sawah di DAS Citarum memperoleh taksiran nilai sekitar Rp. 17,4 juta per hektar per tahun (Agus et al,2004). Sedangkan DAS Brantas total nilai manfaat lahan sawah adalah sekitar Rp. 37,5 juta per hektar per tahun, dimana 60 % dari angka itu bukan termasuk marketed output (Irawan et al, 2002).

2.    Konversi Lahan Sawah Pola, Besaran dan Kecenderungan
Pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Menurut pelaku konversi maka dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif pada umumnya adalah untuk pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, atau kombinasinya. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan yaitu pemilik menjual kepada pihak lain.

Menurut Irawan  (2005) konversi lahan cenderung menular/meningkat disebabkan oleh dua faktor terkait. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi yang terkonversi, maka aksesibilitas di lokasi tersebut semakin mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, meningkatnya harga lahan selanjutnya mendorong petani lain di sekitarnya untuk menjual lahannya. Pembeli tanah tersebut biasanya bukan penduduk setempat sehingga akan terbentuk lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses konversi lahan (Wibowo, 1996). 

Kerugian sosial jangka panjang akibat alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian sangat besar. Alih fungsi lahan pertanian terutama sawah tidak hanya menyebabkan kapasitas memproduksi pangan turun, tetapi merupakan salah satu bentuk pemubaziran investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan budaya pertanian, dan merupakan salah satu sebab semakin sempitnya luas garapan usaha tani serta turunnya kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pengendalian konversi lahan sawah merupakan salah satu isu kebijakan yang sangat strategis. 

Oleh karena permasalahannya sangat kompleks maka strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian memerlukan pendekatan holistik yang didalamnya memuat instrumen yuridis, instrumen insentif bagi pemilik lahan pertanian, dan instrumen rencana tata ruang wilayah dan perizinan lokasi secara terpadu. Agar implementasinya di lapangan efektif maka strategi yang ditempuh harus semaksimal mungkin dapat mengakomodasikan implikasi dari keberagaman maupun dinamika perekonomian wilayah. 

Kota Tegal adalah kota yang cenderung dinamis. Dengan letaknya yang strategis maka industri dan sarana prasarana berkembang dengan pesat, demikian juga dengan perumahan penduduk. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan sarana prasarana seperti Gedung Perkantoran, Pusat Belanja, Industri dan lainnya maka kebutuhan akan ruang menjadi semakin mendesak, disisi lain kebutuhan akan usaha mempertahankan sawah sebagai lahan pertanian menjadi semakin kecil. Hal ini menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi areal pemukiman, industri dan sarana prasarana penduduk.

3.    Hasil Temuan Dan Analisa Terhadap Permasalahan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah
Beberapa temuan yang diperoleh dari observasi lapangan terhadap alih fungsi lahan dari pertanian menjadi pemukiman, industri dan peruntukan non pertanian lainnya dapat disebutkan sebagai berikut :
  1. HASIL verifikasi yang dilakukan Panitia Khusus (Pansus) V DPRD, terkait masalah lahan pertanian di beberapa titik. Ternyata ada temuan alih fungsi lahan di Jalan Sipelem, dari lahan pertanian jadi perumahan. Sedangkan tim Pokja Pemkot Tegal yang mendampingi Pansus, mengaku belum mengetahui proses perijinannya. Berdasarkan hasil verifikasi di lapangan dan berdasarkan data yang ada, lahan persawahan di Kecamatan Tegal Barat tinggal 20 hektare lahan pertanian. Terbagi bagian barat seluas 5 hektare, bagian timur 15 hektare. Namun dari hasil verifikasi, ada temuan fungsi perubahan lahan untuk perumahan, yang terletak di Jalan Sipelem. Untuk Kecamatan Tegal Barat, sawah produktif banyak berkurang. Dari hasil verifikasi lapangan telah ditemukan perubahan radikal yang terdapat di Muaranyar Kelurahan Muarareja Kecamatan Tegal Barat. Awalnya daerah tersebut tambak, tapi dalam desaian jadi kawasan pemukiman dan konservasi Ruang Terbuka Hijau (RTH).
  2. Lemahnya komitmen dan tidak adanya regulasi yang jelas dalam bentuk perda tersendiri menyebabkan Lahan Persawahan Abadi Kota Tegal tinggal menunggu waktu saja untuk habis tak tersisa termakan kebijakan yang ambivalen. Lahan Persawahan Abadi sebenarnya sangat strategis untuk menunjang program ketahanan pangan serta sebagai daerah resapan air hujan. Ketika Lahan Persawahan Abadi habis maka ketahanan pangan dengan sendirinya akan terganggu dan genangan air hujan akan lebih lama karena daerah tangkapan air berupa Lahan Persawahan Abadi habis tidak tersisa. Jika kondsisi pengalih fungsian Lahan Persawahan Abadi yang sudah tertuang dalam Raperda RTRW dibiarkan maka produktifitas panenan padi tidak bisa ditingkatkan. Untuk meningkatkan produktifitas padi dibutuhkan SDM yang berkualitas dan kompeten di bidang pertanian serta memiliki jam terbang yang tinggi serta sistem irigasi yang baik dan butuh anggaran yang lebih untuk melakukan penelitian serta pembinaan kepada para kelompok tani yang ada. Sebelum terlambat lebih jauh Pemerintah Kota harus mengambil langkah penyelamatan Lahan Persawahan Abadi yang sudah dicanangkan sendiri agar tidak musnah begitu saja. Lahan-lahan Persawahan Abadi harus dilindungi dan disosialisasikan kemasyarakat umum agar masyarakat tahu dan ikut mengawasinya. Lahan-lahan Persawahan Abadi yang masih dimiliki warga harus dibeli Pemerintah untuk kemudian disewakan kepada para petani penggarap dengan harga yang terjangkau dan tidak membebani para petani penggarap sehingga ada jaminan lahan tersebut tidak beralih fungsi menjadi perumahan. Bisa juga Pemerintah Kota membeli hasil panen padi para petani dengan harga yang tinggi sehingga para petani bisa mendapatkan keuntungan yang lebih sehingga hidupnya bisa lebih sejahtera. Ketika kesejahteraan mereka meningkat karena bercocok tanam padi maka kemungkinan yang terjadi adalah mereka tidak akan menjual lahan sawahnya.

PENUTUP

Berdasarkan kajian terhadap alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian maka dapat disimpulkan bahwa :
  1. Telah terjadi alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian yaitu digunakan untuk perumahan dan industri.
  2. Salah satu pendorong terjadinya alih fungsi lahan adalah sempitnya rata-rata penguasaan pengusahaan lahan di tingkat petani. Keadaan ini salah satunya dipicu oleh kecenderungan fragmentasi lahan di tingkat petani, serta banyaknya lahan-lahan di pedesaan yang dikuasai oleh orang di luar desa (tanah guntai) akibat tidak tertatanya sistem jual beli lahan di pedesaan. Upaya perluasan lahan yang diusahakan atau digarap petani, merupakan salah satu bentuk upaya dalam memperkecil peluang alih fungsi lahan. Pengaturan disini terkait dengan pencegahan fragmentasi lahan dan penataan jual beli lahan untuk mengurangi tanah guntai serta konsolidasi lahan, baik konsolidasi hamparan maupun konsolidasi pemilikan.
  3. Fragmentasi lahan umumnya terkait dengan persoalan waris, berbagai hukum positif yang ada dalam hal perwarisan, baik hukum yang berbasiskan adat, agama dan lainnya cenderung mendukung ke arah fragmentasi lahan. Akibatnya dari waktu ke waktu, rata-rata penguasaan lahan di tingkat petani cenderung semakin sempit. Ke depan perlu ada upaya yang sistematis untuk mencegah terjadinya fragmentasi pengusahaan. Terkait dengan rencana undang-undang tentang lahan pertanian abadi, salah satu klausul yang harus ada dalam undang-undang tersebut adalah pengaturan batas minimal yang diizinkan dalam hal penguasaan atau minimal pengusahaan lahan, dan hal ini terkait dengan aturan perwarisan.
  4. Upaya pencegahan fragmentasi lahan justru terletak pada upaya pengembangan usaha yang tidak berbasis lahan di pedesaan. Revitalisasi pedesaan merupakan jawaban yang lebih tepat dengan sasaran pengembangan kegiatan non-pertanian di pedesaan, atau upaya peningkatan sumberdaya manusia di pedesaan yang dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja terampil di perkotaan atau pasar tenaga kerja di pasaran global.
  5. Penataan kepemilikan lahan di pedesaan dengan mengurangi penguasaan lahan oleh orang luar desa (perkotaan), perlu mendapat perhatian. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) melakukan pengaturan dengan melarang penguasaan lahan oleh orang dari luar kecamatan. Pengaturan semacam ini nampaknya didasari kondisi masa itu (tahun 60-an) dimana aksesibilitas antar kecamatan masih sulit, sehingga dikhawatirkan lahan di luar kecamatan tidak tergarap secara optimal.
  6. Aspek yang perlu dicermati adalah pemilikan lahan pertanian oleh penduduk yang bukan petani, yang sangat banyak dijumpai di daerah-daerah termasuk di Kota Tegal. Lahan pertanian banyak dikuasai oleh ”orang kota” dan hal ini umumnya dimaksudkan sebagai investasi atau spekulasi, karena pesatnya pengembangan kegiatan industri dan sarana perumahan di wilayah ini.
  7. Untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah diperlukan instrumen hukum yang merupakan kondisi derajat pertama, dan instrumen ekonomi sebagai kondisi derajat kedua. Selain itu, diperlukan pula adanya rekayasa kelembagaan sosial atau penguatan kelembagaan lokal di tingkat petani.

PUSTAKA
Agus, F., Wahyunto, L. W. Robert, H.T. Sidik and Sutono. 2004. Land Use Changes and Their Effect on environmental Functions of Agriculture. Prosiding Seminar  Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Agroklimat.

Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Agro Ekonomi 23(1): 1 - 18.

Irawan, B., A. Setyanto, B. Rahmanto, N. Agustin, A. Askin. 2002. Analisis Nilai Ekonomi Sumberdaya Lahan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Nasoetion, L. I. 2003. Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan Implementasinya. Dalam Kurnia et al (eds). Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Nasoetion, L. I. dan J. Winoto. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlanjutan swasembada pangan dalam prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Kerjasama Puslit Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Bogor.

Pakpahan, A., H. Kartodihardjo, R. Wibowo, H. Nataatmadja, S. Sadjad, E. Haris dan H. Wijaya. 2005. Membangun pertanian Indonesia: Bekerja, bermartabat dan sejahtera. Himpunan alumni IPB Bogor. Cetakan II, Maret 2005.

Bappeda Kota Tegal. 2004. Perda RTRW Kota Tegal tahun 2004-2014.

Bappeda Kota Tegal. 2011. Raperda RTRW Kota Tegal tahun 2011-2030.

Simatupang, P dan B. Irawan.2002. Pengendalian konversi lahan pertanian : Tinjauan ulang kebijakan lahan pertanian abadi. Makalah Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian, 25 Oktober 2002. Badan Litbang Deptan. Jakarta.

Simatupang, P. 2000. Fenomena perlambatan dan instabilitas pertumbuhan produksi beras Nasional : Akar penyebab dan kebijakan pemulihannya. Makalah disampaikan pada Praseminar Nasional Sektor Pertanian Tahun 2002: Kendala, Tantangan dan Prospek, Bogor 4 Oktober 2000, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Simatupang, P. 2004. Kembalikan Subsidi Pupuk kepada Petani. Kompas, 19 Mei 2004. Jakarta.

Simatupang, P., S. H. Susilowati dan Markos. 1990. Penggandaan tenaga kerja dan pendapatan agro-industri di Indonesia. Dalam Simatupang, P. et. al. Agro Industri Faktor Penunjang Pembangunan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor.

Wibowo, S.C. 1996. Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Beras : Studi Kasus di Jawa Timur. Jurusan Tanah Faperta IPB.

Winoto, Joyo. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Makalah (Keynote Speech) dipresentasikan dalam SEMINAR PENANGANAN KONVERSI LAHAN DAN PENCAPAIAN LAHAN PERTANIAN ABADI yang diselenggarakan oleh Kerjasama Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3 - LPPM IPB) di Jakarta, 13 Desember 2005.

1 komentar: